Dalam kajian iktikad yang betul dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berasas pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan percaya perkara yang kemudian terkenal dengan julukan “Rukun Iman” alias dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, lantaran ketaatan kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun ketaatan yang lain.
Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan ketaatan kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya.
Sebagai corak kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap betul tanpa perlu pembuktian.
Namun, dengan merebaknya tuduhan syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam beragam bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini lantaran mengenal Allah merupakan bekal paling esensial bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya bakal terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan dia tidak bakal bisa mengenal tanpa menyadari bakal kehadiran-Nya secara bentuk dan eksistensi.
Untuk itu, sangatlah krusial bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya:
Pertama: Membangun kepercayaan (jika sebelumnya belum ada);
Kedua: Memperkokoh kepercayaan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah);
Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas ibadah dan keyakinan;
Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat;
Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar.
Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di akal kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” alias semisalnya.
Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, kepercayaan utama kita haruslah sudah percaya bahwa Allah itu ada dan bakal selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keagamaan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keagamaan dari orang-orang yang mengingkarinya.
Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa dia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟
“Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?”
Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair,
وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ
“Ada yang salah dengan pikiran jika dia berpikir siang yang begitu terang tetap memerlukan bukti (kalau itu adalah siang).”
Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berdasarkan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat ketaatan kita.
Bukti secara fitrah
Fitrah secara etimologi dapat berfaedah dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang tetap murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya,
فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11)
Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi alias keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, ialah Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ
“Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858)
Fitrah tauhid berfaedah bahwa saat sejak dilahirkan, manusia mempunyai fitrah yang membuatnya secara naluriah mempunyai kesadaran bakal keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, kepercayaan bakal keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini berkarakter dunia dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika dia mulai dapat berpikir secara logis dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya berkarakter dunia ini.[1]
Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan prinsip Allah secara fitrah.
Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari bakal keberadaan Allah sebagai pencipta.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu perihal yang lumrah dan telah diketahui berbareng sejak dahulu, bahwa kesadaran bakal adanya pembuat alam semesta adalah perihal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap hantu dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu hatikecil esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh bakal makan dan minum, begitu pula kesadaran bakal adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2]
Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui bakal adanya pembuat seluruh alam semesta ini (Allah) dengan kepercayaan yang apalagi lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh lantaran itu, para rasul menyerukan,
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ
‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).”
Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa dia memerlukan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, ialah Allah, Tuhan semesta alam.
Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti bakal memohon dan berambisi pada Tuhan-nya.
Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya memerlukan sebuah kebutuhan mendasar bakal adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana dia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya dia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya dia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya dia berorientasi. Ia juga bakal berlindung, memohon pertolongan, dan berambisi pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling susah dan berat.[3]
Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa hatikecil alamiah manusia adalah berambisi pada-Nya di saat-saat sangat susah dan hanya Dia (Allah) sajalah yang mempunyai otoritas di setiap keadaan paling susah sekaligus paling ancaman dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah,
أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ
“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan andaikan dia bermohon kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62)
Dan betul saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berambisi dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah,
وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ
“Dan andaikan Anda ditimpa ancaman di lautan, niscaya lenyap semua yang (biasa) Anda seru, selain Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67)
وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا
“Dan andaikan manusia ditimpa bahaya, dia bermohon kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, alias berdiri.” (QS. Yunus: 12)
وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ
“Dan andaikan manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33)
Inilah pembuktian secara fitrah bakal keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya mempunyai pengakuan bakal keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak.
Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, lantaran fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan bakal keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui bakal keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng,
Dalam sebuah sabda qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan,
إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ
“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari kepercayaan mereka.” (HR. Muslim no. 2865)
Hanif (lurus) dalam sabda tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ustadz pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran bakal keberadaan Allah.[4] Dengan sabda ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya bakal kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya dia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan dia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah.
Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, lantaran kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5]
[Bersambung]
***
Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad
Artikel: KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11.
[2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482.
[3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75.
[4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12.
[5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.