KincaiMedia– Dalam tindakan Reuni 212 di Monas, Senin (2/12/2024), Habib Rizieq Shihab mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar melatih dan mengirim pemuda Indonesia berjihad ke Palestina. Usulan ini, menurutnya, berasal dari salah satu ketua Ketua MUI Pusat.
“Mengusulkan kepada Presiden Prabowo, yang sejak awal sudah memberikan support terhadap perjuangan Palestina, agar membuka pendaftaran bagi pemuda-pemuda Indonesia yang siap berjihad ke Palestina,” pungkas Rizieq. Pada intinya, seruan untuk berjihad. Dalam benaknya, jihad yang berkarakter militer bersenjata.
Lalu gimana sesungguhnya norma ikut bertempur secara militer melawan Israel dan memihak Palestina bagi penduduk negara?
Dalam Islam, ada memang ustadz yang menjelaskan bahwa jihad hukumnya wajib. Dan saya kira, umat muslim tak perlu bersikap resisten terhadap istilah jihad. Seolah glosarium jihad sesuatu yang banget menakutkan. Padahal jihad, dalam Islam, mempunyai makna suci. Ia mencakup banyak perihal apalagi jihad akbar adalah berjihad melawan diri sendiri. Dalam konteks sekarang, jihad dalam pengertiannya yang persis di era Nabi, tak ubahnya adalah memihak kemanusiaan.
Tetapi demikian, salah satu makna jihad adalah bertempur secara militer, fisik. Sebagaimana kitab-kitab fikih mempatenkan istilah jihad untuk makna perang secara bentuk dan bersenjata. Pengertian ini yang mengendap dalam banyak akal umat muslim, termasuk seruan jihad oleh Habib Rizieq.
Oleh karena itu, saya bakal mengulas sesingkat mungkin norma dan langkah jihad dalam fikih-fikih klasik. Namun ada 3 perihal yang perlu dicatat saat membaca jihad dalam literatur fikih klasik. Pertama, teritorial daerah dikotominya menjadi dua, ialah negara Islam dan Non Islam: harbi. Kedua, bumi terkotak-kotak tak punya sinergi yang sekarang masyhur dengan bumi global. Ketiga, al-aslu al-harbu (peradaban yang umum dengan perang).
Jihad dalam situasi negara demikian berimplikasi hukumnya adalah wajib. Adapun kewajibannya dibagi menjadi dua memandang terhadap musuhnya. Imam Nawawi menegaskan, situasi musuh (kafir) ada dua.
Pertama, musuh yang ada di negeri mereka dan tidak mengekspansi alias menjajah negeri muslim maka norma memeeangi alias berjihad adalah tanggungjawab kolektif. Artinya, dilakukan sebagian orang sudah menggugurkan dosa orang lain yang tidak melakukannya. Kedua, jika mana musuh mulai merengsek masuk ke pemisah daerah negara Islam, maka norma berjihad adalah fardu ‘ain. Sehingga, semua orang wajib melakukan jihad perlawanan menghadapi musuh yang telah menjajah negeri muslim sebisa mungkin. (Imam Nawawi, Minhaj al-Thalibin: 307-308).
Tetapi apakah semuanya wajib? Tidak! Kewajiban jihad (perlawanan) secara perseorangan itu hanya bertindak bagi masyarakat yang daerahnya diserang musuh. Pun atas orang yang radiusnya kurang dari radius safar qasr (200 kilometer) jika masyarakat di daerah yang diserang musuh kekurangan tenanga. Demikian pula wajib membantu meski masyarakat yang diserang mencukupi.
Sedangkan orang-orang yang berada di luar itu, alias lebih dari radius 200 kl maka jihad hukumnya adalah fardu kifayah jika daerah yang diserang musuh tak mencukupi. Artinya, dosa mereka sudah gugur jika mana musuh yang menjajah negeri muslim itu dapat perlawanan. (Imam Nawawi, Minhaj al-Thalibin: 307-308).
Diktum norma fikih itu lahir, saya tegaskan ulang, dari peradaban adalah perang, teritorial antara Islam dan Non-Islam, serta bumi seolah terdikotomi yang tak saling mempengaruhi.
Sementara dalam konteks sekarang, tatanan bumi mulai berubah, bumi global. Turitorialnya sudah jelas ada pemisah dengan sistem negara bangsa, tidak memandang negara Islam dan Non-Islam. Di tambah pada asalnya relasi negara-negara adalah perdamaian, bukan peperangan. Hal ini bakal mempengaruhi terhadap geopolitik.
Oleh karena itu, walaupun jihad memihak Palestina hukumnya wajib kifayah tetapi untuk berjihad secara militer banget tidak rasional. Sebab, situasi dan kondisi yang banget berbeda antara keterangan fikih klasik dengan tatanan bumi sekarang, tak memungkinkan menerapkan fikih jihad apa adanya secara leksikal sebagaimana yang diterangkan dalam-dalam kitab fikih.
Sebab dalam fikih, selain lantaran dorongan memihak kerabat seagama, juga dorongan untuk mempertahankan negara (muslim) dari serangan musuh (negara Non-Islam). Dalam fikih yang wajib kifayah berjihad secara militer memihak kerabat yang dijajah lantaran negaranya sama: Negara Islam yang khalifah sebagai pemimpinnya.
Sementara antara Indonesia dan Palestina adalah dua negara yang berbeda, keduanya hanya diikat dengan keagamaan (kemanusiaan masuk dalam keagamaan). Dengan demikian, ketika jihad secara militer tak bisa diterapkan lantaran geopolitik yang tak memungkinkan, maka jihad lain wajib dilakukan semisal jihad dengan mengirim support makanan, kesehatan, dan bunyi diplomasi terus didengungkan.
Dalam sabda yang banyak diriwayatkan dari beragam kitab sabda dan Fikih diasbutkan.
وَعَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: “جَاهِدُوا الْمُشْرِكينَ بأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ”، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحّحَهُ الْحَاكِمُ
“Dari Anas, bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Berjihadlah melawan kaum musyrik dengan kekayaan kalian, diri kalian, dan lisan kalian.’ Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i, serta dinilai sahih oleh Al-Hakim.”
Dalam sabda tersebut, Nabi justru memerintahkan berjihad melawan orang kafir pertama-tama menggunakan harta. Lalu perang fisik, dan terakhir dengan lisan. Nabi tidak memastikan jihad itu hanya perang secara fisik.
Dalam konteks Palestina-Israel, maka berjihad pertama-tama ialah mengirimkan support bantuan buat membantu tentara dan penduduk sipil di Palestina sebagai penerapan dari jihad secara ekonomi. Selain itu, jihad dengan langkah memboikot setiap produk yang berafiliasi dengan Israel. Itu jihad dengan harta.
Tambah lagi jihad dengan nyawa memang ikut perang secara militer tetapi jika tak memungkinkan maka, mengirim pasukan palang merah terjun ke Palestina. Itu juga sebagai jihad dengan dirinya sendiri (anfusikum) bekerja mengobati pasukan dan penduduk sipil.
Yang tidak kalah krusial adalah jihad dengan narasi. Baik narasi verbal dalam setiap lingkup kehidupan, lebih-lebih jihad diplomasi dengan narasi keras di parlemen PBB. Pun para wartawan dan wartawan berjihad untuk menyuarakan dan membungkam propaganda musuh.
Ibnu Ruslan dalam kitab Syarah Sunan Abi Dawud (86) menandaskan.
وقد تقدم أول الباب أن الجهاد يكون بالقلب واللسان واليد والسيف
“Sebagaimana telah dijelaskan di awal bab bahwa jihad dilakukan dengan hati, lisan, tangan, dan pedang.”
Lebih tegas lagi, Syekh Zakariya al-Anshari mengomentari sabda tersebut dengan menegaskan bahwa hal-hal yang disebutkan adalah bagian-bagian jihad yang wajib dilakukan selama memungkinkan. Dan tentu, mempertimbangkan geopolitik, adalah tindakan yang berisiko tinggi terhadap keamanan negara sendiri jika mana Indonesia justru ikut serta dalam perang secara terbuka.
وفيه وجوب الجهاد بكل من الأمور المذكورة عند المتمكن
“Dalam sabda itu ada tanggungjawab jihad dengan setiap perihal yang memungkikan dari sesuatu yang disebutkan”. (Zakariya al-Anshari, Fathul ‘Allam Bisyarhi Allam, hlm. 623).
Seruan Habib Rizieq terhadap presiden Prabowo untuk mengajarkan para pemuda kemiliteran dan mengirimkan ke daerah Palestina dengan mengatasnamakan jihad agama, adalah seruan gegabah dan tak bijak memandang situasi geopolitik yang menegangkan. Sebab, jika Indonesia secara resmi mengirim pasukan militer maka negara-negara sekutu tak bakal tinggal diam. Dalam situasi itu, eksistensi negara Indonesia pun terancam. Wallahu a’lam.