KincaiMedia, TAIF -- Para ustadz telah memberikan penjelasan tentang rezeki dalam kitab-kitab karangannya. Seperti dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha'illah, terdapat banyak hikmah yang membahas tentang rezeki dan gimana seorang hamba semestinya menyikapi masalah ini.
Ibnu Atha'illah menekankan bahwa rezeki setiap makhluk sudah ditentukan oleh Allah dan tidak bakal tertukar. Manusia tidak perlu cemas secara berlebihan tentang rezekinya, lantaran Allah telah menjamin semua makhluk-Nya bakal mendapat rezeki yang cukup. Dalam salah satu hikmahnya, beliau mengatakan,
إِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ د َلِيْلٌ عَلَى إِنْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ.
Artinya: "Usaha kerasmu dalam perihal yang telah dijamin Allah untukmu (dalam urusan rezeki) dan kelalaianmu dalam perihal yang dituntut oleh-Nya darimu adalah pertanda kebutaan mata hatimu".
Menurut Ibnu Atha'illah, meskipun rezeki telah dijamin, bukan berfaedah seseorang boleh meninggalkan usaha. Usaha adalah bagian dari sunnatullah, tetapi dalam upaya tersebut, seorang hamba kudu selalu bertawakal kepada Allah.
Tawakal bukan berfaedah meninggalkan usaha, tetapi menyandarkan hasil upaya sepenuhnya kepada Allah. Beliau menegaskan bahwa upaya manusia hanyalah sebab, sedangkan yang menentukan hasil adalah Allah.
Ulama menjelaskan bahwa rezeki bukan semata-mata tentang kekayaan alias kekayaan materi. Ibnu Atha'illah dalam hikmahnya juga mengingatkan bahwa rezeki bisa berupa ilmu, kesehatan, ketenangan hati, keberkahan waktu, serta hal-hal lain yang tidak berkarakter materiil tetapi sangat bernilai.
Di dalam Lisan al 'Arab, Ibnu al Manzhur juga menjelaskan, //Ar-rizqu// adalah sebuah kata yang sudah dipahami maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang berkarakter zhahirah (tampak), semisal bahan makanan pokok. Kedua, yang berkarakter bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.
Salah satu hikmah Ibnu Atha'illah yang juga terkenal disebutkan kitab Al-Hikam:
مِنْ عَلَامَاتِ النَّجَاحِ فِي النِّهَايَاتِ الرُّجُوْعُ إِلَى اللّٰهِ فِي الْبِدَايَاتِ
“Di antara tanda suksesnya perjalanan seseorang di akhir adalah dia kembali kepada Allah SWT di awal perjalanan."
Ini mengajarkan bahwa seorang mukmin kudu memfokuskan hidupnya untuk akhirat, bukan dunia. Walaupun mencari rezeki adalah suatu keharusan, hati seorang mukmin tidak boleh terlalu terikat dengan bumi dan harta, lantaran semua yang ada di bumi hanyalah sementara.
Dalam Al-Hikam, Ibnu Atha'illah juga memperingatkan agar manusia tidak serakah. Rezeki yang legal dan baik lebih utama meskipun sedikit, daripada rezeki yang banyak namun diperoleh dengan langkah yang tidak benar. Keserakahan dan ketamakan terhadap bumi adalah penyakit hati yang bakal menjauhkan manusia dari Allah.
Ibnu Atha’illah al-Iskandari menulis dalam salah satu bait Al-Hikam: “Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, selain dari bibit ketamakan”.
Jadi, sebenarnya Ibnu Atha'illah dalam Al-Hikam telah mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan antara upaya duniawi dan kehidupan spiritual, serta pentingnya berjuntai sepenuhnya kepada Allah dalam urusan rezeki. Ajaran ini menekankan bahwa rezeki adalah karunia dari Allah yang kudu diterima dengan syukur dan sikap tawakal, bukan dengan kekhawatiran alias ketamakan.