Moderasi Perspektif Prof. Mohd Mizan Aslam

Dec 10, 2024 12:16 PM - 2 bulan yang lalu 76866

KincaiMedia– Tulisan ini membahas pentingnya moderasi berakidah dengan perspektif Prof. Mohd Mizan Aslam. Sudah mafhum bahwa moderasi beragama adalah langkah kita memandang agama, yang berfaedah kita memahami dan mengamalkan aliran kepercayaan dengan langkah yang tidak ekstrim, baik kanan maupun kiri.

“Bhineka Tunggal Ika” adalah simbol keberagaman Indonesia, seperti yang Anda ketahui. Dengan kata lain, keberagaman Indonesia dapat dilihat dari suku, budaya, bahasa, dan agamanya. Orang-orang Indonesia juga menganut enam jenis agama, termasuk Islam, Katolik, Konghucu, Budha, dan Hindu.

Secara teoritis, kata “moderasi” berasal dari kata Inggris “moderation”, yang berfaedah “sikap sedang”, “tidak berlebih-lebihan”, dan “tidak memihak”. Ini adalah asal dari istilah kepercayaan moderasi.

Secara umum, moderasi berakidah berfaedah mengedepankan keseimbangan dalam perihal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan perseorangan alias kelompok. Perilaku keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan ini konsisten dalam mengakui dan memahami perseorangan dan golongan lain.

Oleh lantaran itu, moderasi berakidah berfaedah memahami aliran kepercayaan secara seimbang. Sikap seimbang ini ditunjukkan dengan memegang prinsip kepercayaan dengan mengakui keberadaan pihak lain.

Moderasi berakidah adalah sikap dan perilaku serta pemahaman tentang gimana kita mengamalkan kepercayaan kita dalam konteks yang menghargai perbedaan dan mengamalkan aliran kepercayaan secara setara dan seimbang.

Moderasi berakidah sangat krusial dalam sebuah negara yang homogen, seperti Indonesia, lantaran banyaknya keberagaman menyebabkan gesekan antar kelompok, terutama antar agama. Oleh lantaran itu, krusial untuk memahami bahwa nilai-nilai bersikap dalam konteks keberagaman mencegah kita menjadi egois, intoleran, diskriminatif, dan sebagainya.

Oleh lantaran itu, moderasi berakidah termasuk dalam upaya untuk mencapai persaudaraan, kebaikan, dan kemaslahatan. Ini dapat terjadi di beragam bidang, terutama di bagian pendidikan.

Hidup dalam keragaman kepercayaan tidak selalu mudah. Meskipun banyak orang menginginkan kedamaian, justru kekacauan muncul lantaran kadang-kadang pemahaman kepercayaan kita terlalu abstrak. Meskipun ada banyak patokan dan norma, tidak banyak yang dilakukan.

Oleh lantaran itu, meskipun terlihat agamis, banyak tindakan yang mengatasnamakan kepercayaan yang sebenarnya menakutkan dan memicu radikalisme dan serangan teroris yang mengatasnamakan kepercayaan Islam.

Radikalisme dan serangan teroris membahayakan persatuan dan kebebasan berakidah Indonesia. Islam tetap dikritik lantaran doktrin jihad telah diubah menjadi argumen utama kekerasan yang dilakukan oleh orang Islam yang mengaku Islam.

Tentu saja, perbedaan yang ada di antara golongan masyarakat, terutama perbedaan pendapat dan kepentingan, menyebabkan masalah-masalah tersebut di atas. Dari perbedaan ini dapat muncul ide-ide dan solusi yang mendukung kerukunan, persatuan, dan perdamaian dalam pembangunan agama, bangsa, dan negara. hidup yang menekankan moderasi berakidah untuk mencegah radikalisme, kefanatikan, dan kekerasan.

Moderasi menurut Prof. Mizan Aslam

Prof. Mizan Aslam mengatakan bahwa moderasi berakidah adalah pendekatan yang sangat krusial untuk memupuk perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat yang beragam. Dengan mengedepankan toleransi, pengertian, dan rasa hormat terhadap kepercayaan yang berbeda, maka moderasi berakidah bisa membantu dan menjembatani kesenjangan antar organisasi dan mengurangi potensi konflik.

Hal yang demikian ini mendorong perseorangan untuk menganut nilai-nilai berbareng ialah kasih sayang, keadilan, dan saling menghormati yang ada di semua kepercayaan besar. Itu sebabnya, kata Prof. Mizan, ketika aliran kepercayaan dipraktikkan secara seimbang dan inklusif, maka aliran tersebut dapat menjadi perangkat yang efektif untuk menyatukan masyarakat, apalagi meningkatkan kohesi sosial dan membangun landasan bagi perdamaian abadi.

Sekali lagi, moderasi berakidah merujuk pada pendekatan seimbang terhadap kepercayaan dan praktik keagamaan yang ditandai dengan toleransi, keterbukaan pikiran, dan penolakan terhadap interpretasi ekstrem alias fanatik.

Prof. Mizan menggarisbawahi beberapa karakter dari pengertian moderasi berakidah diantaranya adanya pendekatan yang seimbang terhadap iman, penolakan ekstremisme, promosi toleransi dan hidup berdampingan, penekanan pada nilai-nilai universal, elastisitas dan keahlian beradaptasi dalam interpretasi, dan terakhir adanya jalan tengah dalam praktek keagamaan.

Anda tahu! Pada tahun 1400-an (14 abad yang lalu), Nabi Muhammad Saw. menunjukkan prinsip toleransi, yang merupakan prinsip utama. Surat Al-Kafirun, ayat 1-6, telah digunakan sebagai jawaban dan contoh gimana Nabi Muhammad Saw. bersikap tegas terhadap mereka yang berakidah berbeda tetapi tetap berinteraksi dengan mereka dengan baik.

Tentunya ini tetap sangat relevan dan kudu dilakukan dengan kontekstualisasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Surat Al-Kafirun tidak hanya mengajarkan orang untuk berasosiasi dalam satu ibadah, tetapi juga mengajarkan orang untuk menghormati satu sama lain secara sosial. Dengan kata lain, memberikan kebebasan kepada orang-orang yang mempunyai kepercayaan dan praktik ibadah yang berbeda.

Mungkinkah moderasi berakidah menjadi perangkat perdamaian dan harmoni dalam masyarakat?

Jawabannya sangat mungkin. Kenapa demikian? Karena moderasi berakidah dapat memainkan peran krusial dalam mendorong perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat dengan mendorong toleransi, saling menghormati, dan memahami orang-orang yang berbeda keyakinan.

Beberapa langkah moderasi berakidah agar dapat berkedudukan sebagai perangkat perdamaian menurut Prof. Mizan diantaranya kudu mempromosikan perbincangan antaragama, mendorong pendidikan toleransi dan hormat untuk perdamaian, mengutuk keras tindakan-tindakan ekstremisme, mempromosikan kohesi sosial, menciptakan platform untuk persatuan dan menumbuhkan empati serta pemahaman.

Syahdan. Islam, dengan prinsip-prinsip keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial, menyediakan beberapa perangkat untuk memupuk perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat. Diantaranya adalah adanya konsep keadilan, prinsip pengampunan, ibadah infak (zakat dan shadaqah), solidaritas organisasi (ummah), tanggung jawab sosial, hidup berdampingan secara tenteram dengan kepercayaan lain, penekanan pada martabat manusia, dorongan pendidikan dan pengetahuan, dan adanya toleransi serta menghargai keberagaman.

Kristen (kekristenan) sebagai kepercayaan utama dunia, secara historis berkedudukan sebagai perangkat yang efektif untuk mendorong perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat. Ajaran, nilai-nilai, dan praktik-praktiknya yang berorientasi pada organisasi telah berkontribusi pada penyelesaian konflik, keadilan sosial, dan peningkatan rasa kasih sayang.

Beberapa nilai-nilai kristiani yang mendorong perdamaian dan keselarasan adalah adanya aliran cinta dan pengampunan, promosi keadilan sosial, pembangunan dan support komunitas, resolusi bentrok dan pembangunan perdamaian, perbincangan antaragama, kerangka moral masyarakat, respon terhadap kekerasan dan ketidakadilan.

Hindu (Hinduisme) salah satu kepercayaan tertua di dunia, mencakup beragam kepercayaan, praktik, dan filosofi yang berkontribusi terhadap perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat. Ajarannya mengedepankan nilai-nilai seperti anti-kekerasan (ahimsa), toleransi, dan pencarian dharma (kebenaran), yang menumbuhkan kohesi dan pemahaman sosial.

Beberapa Nilai-nilai hindu yang mendorong perdamaian dan keselarasan adalah adanya prinsip ahimsa (non-kekerasan), penekanan pada dharma (kebenaran), menghargai keberagaman dan pluralisme, latihan spiritual untuk kedamaian batin, nilai organisasi dan keluarga, serta adanya resolusi bentrok dan perbincangan pengelolaan lingkungan.

Sama. Agama Buddha juga menawarkan prinsip dan praktik berbobot yang dapat menumbuhkan perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat. Ajarannya menekankan kasih sayang, non-kekerasan, dan kesadaran, yang dapat menjadi perangkat efektif untuk menciptakan organisasi yang harmonis.

Termasuk nilai-nilai Buddha yang mendorong perdamaian dan keselarasan dalam masyarakat adalah adanya prinsip tanpa kekerasan (ahimsa), perhatian dan kesadaran diri, welas asih dan cinta kasih (metta), penekanan pada kedamaian batin, jalan tengah sebagai jalan menuju keseimbangan dan moderasi, resolusi bentrok dan rekonsiliasi, mendorong hidup beretika (lima sila), mempromosikan detasemen dan mengurangi keserakahan, keterhubungan dan saling ketergantungan, serta pembangunan organisasi melalui Sangha.

Syahdan. Ketika Anda, kata Prof. Mizan Aslam, menekankan moderasi dalam jaring kepercayaan tidak hanya memperkuat komunitas, tetapi juga berkontribusi pada bumi yang lebih adil, damai, dan selaras di mana perbedaan dihormati dan dirayakan. Wallahu a’lam bisshawab.

Selengkapnya