Muhammadiyah, Hegemoni Orba, Dan Perjuangan Buya

Dec 08, 2024 07:41 PM - 1 bulan yang lalu 57759

ILUSTRASI Pancasila.

KincaiMedia, JAKARTA -- Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid (2014) menjelaskan, wacana Asas Tunggal bermula dari berantem bentuk antara massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Pemerintah Orde Baru yang waktu itu didukung Golkar memandang partai yang berpatokan kanan (agama) itu sebagai sesuatu yang patut diwaspadai. Maka, dirancanglah tafsiran bahwa Pancasila—artinya, bukan agama—harus dijadikan asas satu-satunya dalam berorganisasi.

Rezim kala itu berdalih, Asas Tunggal diterapkan demi melindungi Pancasila dari rongrongan ekstrem kiri-kanan. Melalui penerapan Asas Tunggal, pemerintah yakin, bentrok ideologi dapat dihilangkan sehingga pembangunan nasional tak terganggu.

Sejak munculnya wacana Asas Tunggal, PP Muhammadiyah merespons dengan hati-hati. Malahan, persyarikatan condong “terbelah” dalam menyikapinya.

Buya Abdul Malik Ahmad menjadi bunyi paling nyaring dari kubu anti-Asas Tunggal. Tokoh Muhammadiyah kelahiran Nagari Sumanik, Kelarasan Tanah Datar, Sumatra Barat, ini gigih mempertahankan agar Persyarikatan tetap berasas kepercayaan Islam.

Fikrul Hanif mengatakan, beragam strategi dilakukan Buya Abdul Malik Ahmad untuk menyuarakan argumentasinya. Mulai dari kuliah tauhid, rapat ketua Muhammadiyah, kaderisasi, hingga selebaran-selebaran yang berjudul “Menuju Shiratan Mustaqiima”, yang diedarkan beberapa bulan menjelang Muktamar ke-41 di Solo, Jawa Tengah.

Selengkapnya