Pandangan Empat Mazhab Tentang Puasa Bagi Ibu Hamil

Mar 10, 2025 05:53 PM - 2 minggu yang lalu 21610

KincaiMedia, MAKKAH -- Melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam hukumnya adalah wajib. Namun, ada pengecualian bagi mereka yang tidak mampu. 

Siapakah mereka yang tidak mampu? Mereka adalah lansia, wanita hamil, ibu menyusui, orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang yang tengah sakit. Mereka ini adalah orang-orang yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa Ramadhan namun tetap kudu menggantinya di hari lain alias bayar fidyah.  

Dalam bukunya "Ibu Hamil dan Menyusui Bolehkah Bayar Fidya Saja?" Muhammad Ajib mengatakan pendapat para ustadz salaf mengenai perihal ini. Yaitu hukum puasa bagi ibu mengandung dan ibu menyusui.

A. Menurut Mazhab Hanafi, bahwa ibu mengandung dan menyusui itu seperti orang yang sakit. Apabila mereka tidak berpuasa Ramadhan, maka wajib mengqadha puasanya saja dan tidak perlu bayar fidyah. 

Imam Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan juga Abu Tsaur mendukung pendapat ini. Pendapat tersebut berasas firman Allah sebagai berikut:

"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara Anda ada yang sakit alias dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 184) 

Menurut Imam As-Sarkhasi (w 483 H) seorang ustadz yang beraliran Hanafi menyebutkan, ketika wanita mengandung alias menyusui itu meninggalkan puasa lantaran dia cemas terhadap kondisi dirinya alias anaknya, maka boleh tidak berpuasa.

Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW sesungguhnya Allah SWT memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita mengandung dan menyusui berpuasa. Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa kudu bayar fidyah. 

B. Mazhab Maliki membedakan norma puasa bagi ibu menyusui dan wanita hamil. Bagi ibu mengandung yang tidak berpuasa maka kewajibannya hanya qadha, sedangkan bagi ibu menyusui yang tidak puasa maka kewajibannya qadha dan bayar fidyah. 

Imam Malik (w 179 H) yang merupakan pendiri Mazhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudawwanah sebagai berikut:

Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga bisa menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini kudu berpuasa dan menyewa ibu susuan bagi bayinya. Tapi jika sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, di mana dia kudu mengqadha dan bayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, ialah satu mud untuk setiap orang miskin. 

Kemudian Imam Malik menyebutkan, bagi wanita mengandung tidak wajib bayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.  

Dalam kitab Al Mudawanah ini juga dijelaskan kenapa antara wanita mengandung dan menyusui dibedakan dalam perihal bayar fidyah. Hal tersebut lantaran wanita yang mengandung dianggap sebagai wanita yang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah alias tidak sakit seperti wanita hamil.  

Lalu kemudian kenapa fidyah diwajibkan atas ibu menyusui, lantaran argumen meninggalkan puasa adalah lantaran kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan lantaran bentuk ibu yang tidak kuat berpuasa. Padahal bentuk ibu yang menyusui tetap kuat.  

C. Mazhab Syafiii

Madzhab Syafii justru membedakan hukumnya tergantung dari sisi kenapa ibu menyusui dan wanita mengandung itu tidak berpuasa. Apakah karena cemas terhadap dirinya saja alias cemas terhadap bayinya.  

sumber : Dok Republika

Selengkapnya