KincaiMedia, GRESIK --Ulama dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, KH Afifuddin Muhajir menegaskan bahwa penyelewengan dana pajak tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan, menurut dia, penyelewangan terhadap biaya apapun dilarang dalam Islam.
Pakar hukum Islam yang tersohor di kalangan NU ini menjelaskan, dalam perspektif Islam norma bayar pajak itu sendiri sebenarnya hukumnya wajib. "Artinya, seluruh penduduk negara yang termasuk wajib pajak, wajib hukumnya menurut pandangan Islam untuk bayar pajak," ujarnya saat dihubungi Republika.
Menurut dia, Islam mewajibkan penduduk negara bayar pajak lantaran tanpa pungutan pajak tidak mungkin pemerintahan ini bisa dilaksanakan dan tidak mungkin bisa melakukan pembangunan. Akan tetapi, memurut dia, ada beberapa catatan dalam pembayaran pajak tersebut.
Pertama, menurut Kiai Afifuddin, pajak itu kudu dibangun di atas prinsip keadilan. Dia pun mengartikan setara itu dengan "Wad'u al-Syai fi Mahallihi" yang artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Misalnya, mengenai dengan besaran pajak yang kudu dipungut, perihal itu kudu dikaitkan dengan kebutuhan negara untuk membiayai penyelenggaraan negara dan untuk melakukan pembangunan.
"Kalau yang dibutuhkan misalnya Rp 100 Triliun kemudian memungut pajak Rp 200 Triliun itu namanya kan tidak adil. Jadi masalah besar kecilnya pungutan pajak juga kudu dibahas," ucap ustad kelahiran Sampang, 20 Mei 1955 ini.
Kedua, lanjut dia, dalam Islam pengelolaan pajak itu juga kudu dilakukan dengan benar. Karena itu, menurut Kiai Afifuddin, Islam tidak membenarkan jika ada penyelewengan dalam pengelolaan biaya pajak.
"Yang kedua, kudu dikelola dengan betul dan baik. Kalau penyelewengan berfaedah yang namanya penyelewengan berangkaian dengan apa saja penyelewengan itu tidak benar," katanya.
Sedangkan catatan yang ketiga, biaya pajak itu kudu disalurkan dengan langkah yang benar. Menurut dia, biaya pajak kudu disalurkan kepada orang-orang yang berkuasa menerima pajak itu, termasuk masyarakat dengan ekonomi lemah.
"Yang pertama ya sudah peralatan tentu para pegawai, para pejabat dan seterusnya, kemudian digunakan untuk melakukan pembangunan, dan yang tak kalah krusial yang berkuasa menerima biaya pajak itu adalah orang-orang yang ekonomi lemah, itu juga kudu ikut menikmati pajak itu," jelas Kiai Afifuddin.
Lebih lanjit, Doktor Honoris Causa dalam bagian Ushul Fikih ini menjelaskan, pada dasarnya dalam Islam itu pungutannya hanya zakat. Menurut dia, pungutan biaya amal itu mendapatkan izin langsung dari Allah SWT.
"Akan tetapi persoalannya kemudian, gimana jika biaya amal itu tidak cukup untuk memeberantas kemiskinan dan sebagainya? Maka para ustadz mengatakan, boleh ada pungutan di luar zakat," kata Kiai Afifuddin.
Menurut dia, perihal itu berasas sebuah hadits yang menyatakan,
إن في المال لحفا سوى الزكاة
Artinya: “Sesungguhnya dalam setiap kekayaan terdapat kewenangan selain zakat.”
Menurut Kiai Afifuddin, dalam hadits itu dijelaskan bahwa pada kekayaan itu ada kewenangan lain selain zakat, ialah ketika amal tak lagi cukup. "Ini artinya bahwa pungutan di luar amal itu dalam konteks darurat, termasuk pajak. Jadi, kenapa negara boleh melakukan pungutan pajak? ya lantaran dalam rangka darurat. Karena tidak mungkin tanpa pajak negara ini dan pemerintahan dilesenggarakan dan dijalankan," jelas Kiai Afifuddin.