Teks Hadis Pertama
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعضٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكفَاءُ بَعْضٍ، إلَّا حَائِكًا أوْ حَجَّامًا
“Orang-orang Arab, sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain; dan para jejak budak (mawali), sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain, selain penenun alias tukang bekam.” [HR. Al-Baihaqi, 7: 134; namun sanad sabda ini dha’if karena sanadnya terputus (munqathi’) dan juga ada perawi yang mudallis]
Syekh Al-Albani rahimahullah berkata,
وجملة القول أن طرق الحديث أكثرها شديد الضعف، فلا يطمئن القلب لتقويتها بها، لا سيما وقد حكم عليه بعض الحفاظ بوضعه؛ كابن عبد البر وغيره، وأما ضعفه فهو في حكم المتفق عليه، والقلب إلى وضعه أميل، لبعد معناه عن كثير من النصوص الثابتة
“Kesimpulannya, sebagian besar jalur periwayatan sabda ini sangat lemah, sehingga hati ini tidak merasa tenang untuk menguatkan sabda ini melalui jalur-jalur tersebut. Terlebih lagi, beberapa mahir sabda telah menyatakan bahwa sabda ini tiruan (maudhu’), seperti Ibn Abdil Barr dan lainnya. Adapun status dha’if-nya, perihal itu menjadi kesepakatan di kalangan para ustadz (ahli hadis). Bahkan, hati ini condong untuk menganggapnya sebagai sabda palsu, mengingat maknanya yang jauh bertentangan dengan banyak dalil nash yang sahih lainnya.” [1]
Kandungan Hadis Pertama
Hadis ini menunjukkan adanya pertimbangan kesetaraan (al-kafa’ah) berasas keturunan (nasab), di mana seluruh orang Arab dianggap sama dalam al-kafa’ah; sedangkan para jejak budak (mawali) dianggap setara satu sama lain, tetapi tidak setara dengan orang Arab. Namun, ada pengecualian jika seorang Arab bekerja dalam pekerjaan seperti penenun alias tukang bekam, maka status keturunannya jatuh dan dia tidak dianggap setara dengan wanita Arab.
Pendapat yang mempertimbangkan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan) adalah pandangan kebanyakan ustadz (jumhur), sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Namun, pemahaman ini, yang didasarkan pada sabda di atas, itu tidak benar. Karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sabda ini batil dan tidak mempunyai dasar yang sahih. Hal ini juga diperkuat oleh dalil lain, seperti kisah setelahnya di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, padahal dia adalah jejak budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar Abu Hind dinikahkan, meskipun dia adalah seorang tukang bekam.
Hal ini menunjukkan bahwa sabda tersebut tidak sahih dan bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Mungkin inilah argumen kenapa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sabda ini dalam bab al-kafa’ah ini, kemudian mencantumkan dua sabda setelahnya untuk menunjukkan ketidaksahihannya, lantaran kedua sabda tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan berasas nasab (keturunan) tidaklah dipertimbangkan. Oleh lantaran itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
لم يثبت في اعتبار الكفاءة بالنسب حديث
“Tidak ada sabda yang sahih tentang mempertimbangan al-kafa’ah berdasarkan nasab (keturunan).” [2]
Teks Hadis Kedua
Dari Abu Bakar bin Abi Al-Jahm bin Sukhair Al-Adawi, dia berkata,
سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ، تَقُولُ: إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُكْنَى، وَلَا نَفَقَةً، قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي ، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ، لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ» فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَاعَةُ اللهِ، وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ
“Aku mendengar Fatimah binti Qais berkata, “Sesungguhnya suaminya telah menceraikannya dengan talak tiga, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menetapkan untuknya kewenangan tempat tinggal alias nafkah.” Fatimah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Jika masa idahmu selesai, beritahukanlah kepadaku.”
Maka saya memberitahukannya. Kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid melamarku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah seorang yang miskin, tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita. Tetapi (pilihlah) Usamah bin Zaid.”
Fatimah berkata, “Aku memberi isyarat dengan tanganku seperti ini, Usamah, Usamah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah yang terbaik bagimu.” Lalu saya menikah dengannya, dan saya merasa bahagia.” (HR. Muslim no. 1480)
Kandungan Hadis Kedua
Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam perihal nasab tidaklah dipertimbangkan, dan diperbolehkan menikahkan seorang wanita Quraisy dengan seorang mantan budak. Hal ini lantaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun Usamah tidak sekufu dengannya dalam perihal nasab. Fatimah adalah wanita Quraisy, sedangkan Usamah berasal dari golongan mawali (bekas budak). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta Fatimah untuk mengabaikan lamaran dari Mu’awiyah dan Abu Jahm, meskipun keduanya berasal dari kaumnya, sukunya, dan juga dari Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam nasab tidaklah menjadi syarat yang dipertimbangkan dalam pernikahan.
Juga terdapat sabda tentang Dhiba’ah binti Zubair, yang menjadi istri dari Miqdad bin Al-Aswad. Dhiba’ah adalah seorang wanita dari Bani Hasyim yang mempunyai kedudukan nasab lebih tinggi darinya. Dhiba’ah adalah putri dari om Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Miqdad bukan berasal dari Quraisy.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [3] Ibnu Abi Musa juga meriwayatkan pendapat ini dari Imam Ahmad rahimahullah. [4] Syekh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Pendapat inilah yang benar.” [5]
Teks Hadis Ketiga
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ أَبَا هِنْدٍ، حَجَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَافُوخِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بَنِي بَيَاضَةَ أَنْكِحُوا أَبَا هِنْدٍ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِ
“Bahwa Abu Hind telah melakukan hijamah (bekam) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bagian tengah kepala (ubun-ubun). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hind dan terimalah pernikahan darinya (dengan family kalian).” (HR. Abu Dawud no. 2102, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kandungan Hadis Ketiga
Hadis ini menjadi dalil bahwa al-kafa’ah dalam perihal nasab dan pekerjaan tidaklah dipertimbangkan dalam pernikahan. Seorang tukang bekam (hajjam) dapat dianggap setara dengan kerabatnya yang bukan tukang bekam. Hal yang sama juga bertindak bagi tukang jagal, tukang sepatu, penyamak kulit, alias pekerjaan lain yang dianggap rendah oleh sebagian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hindin, meskipun dia adalah seorang mantan budak dan pekerjaannya adalah tukang bekam. Pekerjaan ini pada era mereka dianggap sebagai pekerjaan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sabda sebelumnya yang menyatakan sebaliknya (yaitu sabda pertama) adalah batil.
Al-Khathabi rahimahullah berkata,
في هذا الحديث حجة لمالك ولمن ذهب مذهبه في أن الكفاءة بالدين وحده، دون غيره
“Hadis ini menjadi hujah bagi Imam Malik dan mereka yang mengikuti pendapatnya, ialah bahwa al-kafa’ah hanya dinilai dari agama, bukan yang lainnya …’ [6]
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ومعلوم أن الحجامة، والدباغة، والحياكة، والحدادة فيها مصالح عظيمة للمسلمين، فالذي يقوم بها جدير بأن يشكر لا بأن يهمل، فإهماله وعدم تزويجه معناه التنفير عن هذه المهن النافعة للناس، فكما أنَّه غَلَظ في الحكم هو غلط في المعنى …
“Sudah diketahui bahwa pekerjaan seperti tukang bekam, penyamak kulit, penjahit, dan pandai besi membawa faedah besar bagi umat Islam. Orang-orang yang menjalani pekerjaan ini semestinya diberi penghargaan, bukan diabaikan. Mengabaikan mereka dan menolak menikahkan mereka sama saja dengan mengurangi motivasi untuk menjalani profesi-profesi berfaedah ini. Sebagaimana ini adalah kekeliruan dalam hukum, ini juga merupakan kekeliruan dalam makna …”
[Bersambung]
***
@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Al-Irwa’, 6: 270.
[2] Fathul Baari, 9: 132.
[3] Al-Inshaf, 8: 108.
[4] Al-Irsyad, hal. 268.
[5] Ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Ar-Raudh Al-Murbi’, hal. 517.
[6] Ma’alim As-Sunan, 3: 44.