Panduan Menikah Dengan Pasangan Yang Sekufu (bag. 3)

Feb 11, 2025 06:00 AM - 1 bulan yang lalu 26892

Kriteria al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam syariat

Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria yang dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil hukum yang lain menunjukkan bahwa kriteria utama yang perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah kepercayaan dan adab seseorang, bukan kriteria yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan Anda dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikan Anda berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar Anda saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka kenapa Allah menyiksa Anda lantaran dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi Anda adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ

“Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keistimewaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keistimewaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, alias orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali lantaran ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth)

Ayat dan sabda ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan norma Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada yang lebih utama di antara mereka selain dengan karena ketakwaan. Sesungguhnya dalam norma Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari yang lainnya.

Juga terdapat hadis-hadis lain yang menekankan al-kafa’ah dalam perihal kepercayaan dan adab seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, lantaran keturunannya, lantaran kecantikannya, dan lantaran agamanya. Maka pilihlah lantaran agamanya, niscaya Anda bakal beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319)

Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan sabda di atas di bawah titel bab,

بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ

“Bab sekufu dalam agama”; yang menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ustadz yang menyatakan bahwa al-kafa’ah yang dipertimbangkan dalam hukum adalah al-kafa’ah dalam perihal agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai kepercayaan dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, bakal terjadi tuduhan di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132)

Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais yang mau menggugat pisah suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ

“Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam perihal adab dan agama, tetapi saya tidak suka kekufuran dalam Islam.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟

“Apakah Anda bersedia mengembalikan kebunnya?”

Dia menjawab, “Ya.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman kepada suaminya, Tsabit,

اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

“Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273)

Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan rekomendasi untuk menikahi wanita yang salehah, beliau berkata,

هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق

“Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam kepercayaan adalah yang paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1]

Oleh lantaran itu, pendapat yang betul dalam masalah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Malik, yang juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa yang dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam makna kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, selain jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan bakal melakukan kejam kepada istrinya lantaran kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatan (wanita salehah). [2]

Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi pedoman bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3]

[Selesai]

***

@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] At-Tamhid, 19: 168.

[2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159.

[3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Selengkapnya