KincaiMedia,JAKARTA -- Tradisi intelektual di pesantren pada abad ke-19 sudah terintegrasi sedemikian rupa dalam tradisi intelektual Islam di bumi Muslim khususnya Makkah dan Madinah. Dimensi internasional memang menjadi krusial dipertimbangkan dalam rangka memahami dinamika serta perkembangan pesantren di Indonesia.
Penelitian tentang pesantren memang berupaya memandang dimensi internasional tersebut yang selama ini relatif terabaikan dari kajian para sarjana tentang lembaga pendidikan Islam tradisional ini.
Mempertimbangkan jaringan yang sudah terbentuk apalagi sejak abad ke-17, perkembangan Islam di Timur Tengah khususnya Makkah dan Madinah serta Kairo di Mesir, memang mempunyai peran sangat krusial dalam pembentukan wacana intelelktual Islam Melayu-Indonesia termasuk bumi pesantren.
Di abad ke-19, peran Timur Tengah ini, khususnya Makkah, memang demikian sentral dalam pembentukan wacana sosial-intelektual Islam di Melayu-Nusantara. Bertambahnya jumlah jamaah haji akibat perbaikan sistem transportasi laut telah membikin Makkah menjadi jantung dari dinamika Islam di Melayu-Nusantara abad ke-19.
Para pelajar Melayu-Nusantara di Makkah termasuk organisasi Jawi, telah membentuk satu golongan sosial tersendiri meski terbagi ke dalam beragam etnis, itu telah membawa mereka terlibat dalam hubungan intensif dan obrolan mengenai topik-topik yang berkenaan dengan perkembangan Islam di Melayu-Nusantara, demikian dijelaskan dalam kitab Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 2.
Komunitas Jawi di Makkah inilah yang kemudian menjadi tokoh terkemuka dan menentukan dalam perkembangan Islam Melayu-Indonesia. Mereka menjadi pendiri dan sekaligus pemimpin pendidikan pesantren.
Dalam konteks perkembangan pesantren abad ke-19, krusial ditekankan, pengaruh Makkah tampaknya bukan terletak pada model pendidikan yang menjadi dasar pendidikan pesantren. Karya klasik Snouck Hurgronje yang hingga sekarang merupakan terlengkap dalam membahas organisasi Jawi di Makkah, hanya menyatakan bahwa organisasi Jawi belajar di halaqah-halaqah yang terdapat di Masjidil Haram di bawah pengarahan Shaykh Makkah yang biasa disebut Shaykh al-Ulama alias Rektor (Hurgronje 1931).
Oleh lantaran itu, aspek paling krusial dari Makkah adalah bahwa melalui organisasi Jawi, tradisi pembelajaran Islam di pesantren, dan juga Islam di Melayu-Indonesia secara umum, semakin terintegrasi secara intensif ke dalam arus utama perkembangan Islam yang berbasis di Timur Tengah. Salah satu bukti krusial dari perihal itu adalah semakin banyak jumlah dan beragamnya kitab-kitab yang digunakan di pesantren di Indonesia, yang juga dipakai secara luas di beragam lembaga pendidikan Islam di bumi Muslim, khususnya mereka yang berafiliasi dengan ajaran Syafi‘i.
Sejauh menyangkut dimensi internasional pesantren, pengalaman di negara Muslim lain menjadi krusial diperhatikan. Dalam perihal ini peran al-Azhar di Kairo, Mesir tampaknya perlu dibahas.
Hingga saat ini kita memang tidak mempunyai informasi memadai tentang organisasi Jawi di al-Azhar pada abad ke-19. Data yang ada selama ini berasal dari paruh pertama abad ke-20. Namun, lantaran beberapa argumen yang bakal dijelaskan, perihal itu bukan berfaedah bahwa al-Azhar tidak mempunyai makna krusial dalam perkembangan Islam di Indonesia abad ke-19. Meski tidak memberi pembahasan rinci, Snouck Hurgronje mengakui pentingnya al-Azhar sebagai pusat keilmuan ajaran Syaf‘i.
Pengakuan serupa juga dikemukakan sarjana lain, Van den Berg, di mana dia memandang kemungkinan para ustadz Indonesia menuntut pengetahuan di Kairo, selain tentu saja di Makkah. Hal yang nyaris sama juga bisa dilihat pada Veth (1868), dia mencatat bahwa keberadaan organisasi Jawi di Kairo sebenarnya sudah dikenal. Selain memberi beberapa catatan tulisan sejumlah sarjana Barat tentang Riwaq al-Jawi, tempat belajar dan mondok organisasi Melayu di Kairo, tulisan Veth memberi kesan kuat bahwa sejumlah masyarakat Muslim Indonesia sudah sedemikian berkawan dengan al-Azhar. Veth menulis bahwa Mesir adalah tempat yang baik untuk menuntut ilmu, meski hanya sedikit Muslim Indonesia yang belajar di sana.