Penjelasan Hadis Arbain An-nawawiyah (bag. 1)

Dec 03, 2024 06:00 AM - 1 bulan yang lalu 56361

Teks hadis

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berbicara bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap ibadah tergantung pada niatnya. Setiap orang bakal mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya lantaran Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya lantaran mencari bumi alias lantaran wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang dia tuju.” [1]

Penjelasan

Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar sabda ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan sabda ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan sabda ini, selain Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan sabda ini dari Umar bin Khattab, selain ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, selain Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan sabda ini dari Muhammad bin Ibrahim, selain Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu sabda ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh lantaran itu, sabda ini merupakan salah satu sabda yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2]

Hadis ini merupakan sabda yang agung dan mulia di mana para ustadz salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan sabda ini. Salah satu ustadz yang menuliskan sabda ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata,

ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية

“Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan sabda ini sebagai peringatan bagi penuntut pengetahuan untuk memperbaiki niatnya.”

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam persoalan fikih.” Para ustadz juga mengatakan bahwasanya sabda ini merupakan sepertiga dari Islam. [3]

Hadis ini mempunyai penguat dari ayat Al-Qur’an dan sabda yang lain. Di antaranya adalah,

وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ

“Dan janganlah Anda berinfak, melainkan lantaran mencari rida Allah.​” [4]

مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا

“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang berbareng dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu memandang mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda jejak sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, ialah seperti bibit yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lampau menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya lantaran Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beragama dan mengerjakan amal di antara mereka, pembebasan dan pahala yang besar.” [5]

Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah sabda yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك

“Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, selain Anda bakal diberi pahala, termasuk sesuatu yang Anda suapkan ke mulut istrimu.” [6]

Kata تبتغي بها وجه الله mempunyai makna niat. [7]

Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga sabda yang menjadi dasar utama Islam:

Pertama: Hadis Umar,

إنما الأعمال بالنيات

‘Sesungguhnya kebaikan itu tergantung niatnya.’ [8]

Kedua: Hadis Aisyah,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9]

Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir,

الحلال بين والحرام بين

‘Yang legal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]

Perkataan Imam mahir sunah ini sangat mendalam. Sebab, kebaikan yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai tanggungjawab hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang legal dan haram. Dan di antara yang legal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga.

Ketiga perihal ini disebutkan dalam sabda Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang legal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” alias dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap kebaikan yang hendak dilakukan, alias setiap perintah yang mau dilaksanakan dan larangan yang mau dihindari kudu disertai niat agar menjadi sah.

Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa penyelenggaraan tanggungjawab yang Allah perintahkan alias menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membikin kebaikan tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula tanggungjawab dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membikin kebaikan itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu ibadah yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim.

Jadi, sabda tentang amal, “Sesungguhnya kebaikan itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh lantaran itu, sabda ini mempunyai kedudukan yang agung, lantaran setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib alias sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram alias makruh) alias berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, selain dengan niat yang bermaksud mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11]

***

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan

Artikel: KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907.

[2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17.

[3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27.

[4] QS. Al-Baqarah: 272.

[5] QS. Al-Fath: 29.

[6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628.

[7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18.

[8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907.

[9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718.

[10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599.

[11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1

Selengkapnya