Pendahuluan
Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun family yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dengan melakukan beragam macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah legal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang legal alias yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083)
Sebagai seorang muslim yang tetap mempunyai perhatian terhadap norma syar’i dan juga mau mencari keberkahan dalam kekayaan yang dia peroleh, tentunya sangat krusial untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami legal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya beragam macam corak dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi info dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang legal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada mahir yang kompeten di bagian ini.
Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang norma dan prinsip dasar dalam memahami legal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga bakal merujuk kepada kitab-kitab lainnya andaikan diperlukan.
Hukum asal transaksi muamalah adalah legal (mubah)
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ustadz rahimahumullah tentang norma asal muamalah, apakah legal alias haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang norma asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah legal (boleh alias mubah) ataukah haram (terlarang)? [1]
Pendapat pertama: norma asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat kebanyakan ustadz Hanafiyah, madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ustadz menyatakan bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,
وقد حكى بعضهم الإجماع عليه
“Sebagian ustadz mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2]
Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (madzhab Zhahiriyah) rahimahumallah.
Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya lantaran inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an
Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi janji alias perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34)
Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi janji dan perjanjian yang telah kita buat secara absolut (tanpa ada catatan alias tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua janji alias perjanjian, selain yang bertentangan dengan patokan syariat. Konsekuensinya, norma asal transaksi muamalah adalah halal. [3]
Kedua, ayat-ayat yang menyebut terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis alias corak tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala,
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ
“Katakanlah, “Tiadalah saya peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, selain jika makanan itu bangkai, alias darah yang mengalir alias daging babi, lantaran sesungguhnya semua itu kotor alias hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145)
Juga firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar kewenangan manusia tanpa argumen yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak Anda ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis alias corak tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke norma asal, ialah legal (boleh). Hal ini lantaran tidaklah suatu norma ditetapkan atas mukallaf, selain jika bersandar pada dalil. [4]
Ketiga, firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling menyantap kekayaan sesamamu dengan jalan yang batil, selain dengan jalan perniagaan yang bertindak dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Sisi pendalilannya, lantaran Allah tidak membikin persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) selain kudu atas dasar saling rida (salah satu alias kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan perihal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut legal berasas dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5]
Keempat, firman Allah Ta’ala,
وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Mengapa Anda tidak mau menyantap (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada Anda apa yang diharamkan-Nya atasmu, selain apa yang terpaksa Anda memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)
Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini lantaran Allah Ta’ala telah menyebut secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan alias yang tidak Allah haramkan. [6]
Kelima, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam beragam jenis dan bentuknya, lantaran semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, lantaran terdapat unsur kezaliman dan menyantap kekayaan sesama manusia dengan batil. Sehingga perihal ini menunjukkan bahwa norma asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan menyantap kekayaan orang lain dengan langkah yang batil. [7]
Dalil-dalil dari As-Sunah
Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا.
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa perihal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya lantaran lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
“Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9]
Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faidah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah legal alias haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebut hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa norma asal segala sesuatu adalah mubah.”
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka lantaran pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23)
Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan bakal turun pengharaman lantaran adanya pertanyaan tersebut. Sehingga perihal ini dalil bahwa norma asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna sabda ini, “Dalam sabda ini terkandung dalil bahwa norma asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil hukum yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12]
Dalil-dalil logika
Pertama, akad alias transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, ialah kegiatan yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan perihal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap alias dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13]
Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, selain jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh lantaran itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah lantaran terdapat maslahat bagi manusia.
Ketiga, tidak terdapat dalil dalam hukum yang menunjukkan haramnya akad, selain akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya norma haram dalam janji tersebut. Jika norma asal janji alias transaksi adalah haram, maka tidak ada faidahnya menyebut dalil pengharaman dari janji alias transaksi tersebut, lantaran hukumnya sama dengan norma asal.
Keempat, kesepakatan ustadz bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan kudu ada dalil unik yang menunjukkan bolehnya janji tersebut. [14]
Kesimpulan
Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa norma asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini lantaran dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di era ini, tidak bisa lepas dari transaksi alias janji muamalah. Jika mereka diberi tanggungjawab untuk mencari dalil bolehnya setiap janji alias transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka perihal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka.
Namun, krusial untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini ialah meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan janji alias transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya janji dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang berkarakter umum dan dalil akal, ialah ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan beragam masalah alias masalah terntu berasas kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa norma asal janji dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakter jenis (bentuk) muamalah tersebut alias masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15]
Maksud perkataan beliau, meskipun norma asal janji alias transaksi adalah mubah, perihal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti perincian transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah perincian dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil alias prinsip syariat? Oleh lantaran itu, dalam serial selanjutnya kami bakal paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat.
[Bersambung]
***
@12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150.
[2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166.
[3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah.
[4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490.
[5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102.
[6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383.
[7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317.
[8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebut dua ‘illat (cacat) dari sabda ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72)
[9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani.
[10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170.
[11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345.
[12] Fathul Baari, 13: 269.
[13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134.
[14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39.
[15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.