Prinsip kedua: Melarang dan mencegah terjadinya gharar (spekulasi, untung-untungan, alias ketidakpastian)
Pengertian gharar secara bahasa dan istilah
Secara bahasa, gharar adalah isim mashdar untuk (غَرَّرَ) [1]; yang maknanya antara lain: (النقصان) (kekurangan) [2], (الخطر) (bahaya) [3], (التعرغ للهلكة) (menghadapi kehancuran alias berisiko tinggi terhadap kerusakan) [4], dan (الجهل) (kebodohan) [5].
Adapun menurut istilah, maka ungkapan kalimat para ustadz untuk mendefinisikannya beraneka ragam, namun maknanya saling berdekatan. As-Sarakhsiy rahimahullah berkata,
الغرر: ما يكون مستور العاقبة
“Al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas hasilnya alias tidak diketahui hasil akhirnya.” [6]
Ibnu ‘Urfah rahimahullah berkata,
ما شك في حصول أحد عوضيه، أوالمقصود منه غالبا
“(Al-gharar adalah) sesuatu yang terdapat keraguan dalam tercapainya salah satu dari dua penggantinya, alias yang tujuan utamanya sering kali tidak jelas.” [7]
Asy-Syirazi rahimahullah berkata,
الغرر: ما انطوى عنه أمره، وخفي عليه عاقبته
“Al-gharar adalah sesuatu yang tersembunyi keadaannya dan tidak jelas akibat akhirnya.” [8]
Abu Ya’la rahimahullah berkata,
ما تردد بين أمرين ليس أحدهما أظهر
“(Al-gharar adalah) sesuatu yang terombang-ambing antara dua keadaan, tanpa ada salah satu yang lebih jelas alias lebih kuat.” [9]
Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan gharar dengan,
الغرر: هو المجهول العاقبة
“Al-gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui akibat (hasil) akhirnya.” [10]
Dengan memandang beragam arti yang disampaikan oleh para ustadz di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharar adalah,
ما لا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته و مقداره
“(Al-gharar adalah) sesuatu yang tidak diketahui kepastiannya terjadi, alias yang tidak diketahui prinsip dan ukurannya.” [11]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa secara umum, gharar terdiri dari tiga jenis:
1) Barang yang tidak (belum) ada, seperti menjual sesuatu yang tergantung pada perihal yang belum terjadi, misalnya menjual janin hewan yang tetap dalam kandungan.
2) Barang yang tidak dapat diserahkan, seperti budak yang melarikan diri; alias peralatan yang berada di luar keahlian penjual untuk menyerahkannya.
3) Barang yang tidak jelas, baik ketidakjelasan tersebut berkarakter absolut (tidak diketahui jenis alias ukurannya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu seorang budak”; “Saya menjualmu apa yang ada di dalam rumah saya”; alias “Saya menjualmu budak-budakku.”
Atau ketidakjelasan tertentu (mu’ayyan), yaitu jenis alias ukurannya diketahui, namun tidak diketahui sifat (spesifikasinya), seperti mengatakan, “Saya menjualmu kain yang ada di lengan baju saya”; alias “Saya menjualmu budak yang saya miliki”; tanpa ada rincian lebih lanjut. [12]
Adapun hikmah dilarangnya janji yang mengandung gharar adalah lantaran pada janji tersebut terdapat ketidakpastian alias akibat tinggi, yang dapat merugikan salah satu pihak. Juga dapat menimbulkan sengketa dan permusuhan, lantaran salah satu pihak dapat dirugikan dengan kerugian yang sangat besar. [13]
Hukum gharar dalam transaksi muamalah
Dalil pokok dalam masalah ini adalah sabda yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513)
Dilarangnya gharar merupakan salah satu pokok hukum dalam bab muamalah, jual beli, dan semua janji mu’awwadhat (komersil). [14] Ketika manusia sangat memerlukan transaksi yang berkarakter komersil, maka hukum yang penuh hikmah mewujudkan kebutuhan tersebut, namun dengan meniadakan dan mencegah terjadinya gharar dari beragam janji yang dibuat. Sehingga sempurnalah maslahat untuk manusia, kekayaan mereka terjaga kerugian dan kerusakan, dan tercegah dari sengketa dan perselisihan sebagai akibat dari janji yang mengandung gharar. [15]
Pada masa jahiliyah, terdapat beberapa corak transaksi jual beli yang mengandung gharar yang dilarang dalam syariat, misalnya [16]:
Pertama, jual beli hashah, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang dalam sabda yang telah disebutkan di atas. Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lampau berbicara kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lampau kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang saya jual kepadamu dengan nilai sekian.”
Dalam transaksi ini, objek peralatan yang dijual tidak jelas, lantaran tidak jelas kain mana yang bakal dijatuhi batu, bisa jadi lebih mahal alias lebih murah dari nilai jual yang telah ditetapkan sebelum batu dilempar.
Kedua, jual beli mulamasah. Dilarangnya jual beli mulamasah disebutkan dalam sabda dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَنَهَى عَنِ المُلاَمَسَةِ ، وَالمُلاَمَسَةُ: لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يُنْظَرُ إِلَيْهِ
“(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang dari jual beli mulamasah.” Abu Sa’id menafsirkan, “(Pembeli hanya boleh) menyentuh kain, tanpa melihatnya.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1511)
Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena pembeli hanya boleh menyentuh kain saja, tidak boleh membuka alias melihatnya, padahal nilai jual telah ditetapkan sebelumnya.
Ketiga, jual beli munabadzah. Dilarangnya jual beli munabadzah disebutkan dalam sabda dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ ، وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari jual beli munabadzah. (Abu Sa’id menafsirkan jual beli munabadzah), yaitu “Dua orang penjual dan pembeli saling melempar kain, kain mana saja yang dilempar telah terjadi jual beli, tanpa boleh dibolak-balik alias dilihat.” (HR. Bukhari no. 2144 dan Muslim no. 1512)
Dalam transaksi ini, terdapat gharar karena mereka berdua sama-sama tidak tahu kain seperti apa yang bakal mereka terima, bisa jadi lebih bagus, lebih mahal dari kain yang mereka lemparkan, alias sebaliknya, justru lebih jelek dan lebih murah.
Kriteria gharar yang diharamkan dalam transaksi muamalah
Dalam masalah gharar, kita perlu mengetahui kriteria bagaimanakah corak gharar yang dilarang dalam syariat. Tidak serta merta suatu transaksi yang mengandung unsur gharar itu dilarang. Namun, perlu diteliti bagaimanakah tujuan hukum ketika mengharamkan gharar. Kalau semua corak gharar dilarang, ini bakal meniadakan semua corak jual beli, dan tentu ini bukan yang dimaksudkan oleh syariat. [17] Hal ini lantaran tidak ada satu pun transaksi muamalah, selain mengandung sedikit unsur gharar. [18]
Oleh lantaran itu, para ustadz membikin kriteria dan batas bagaimanakah gharar yang andaikan terdapat di dalam transaksi muamalah, maka transaksi tersebut hukumnya haram. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
Pertama: unsur gharar mendominasi akad.
Gharar yang dilarang adalah gharar yang dominan dalam akad, alias terdapat dalam jumlah yang besar. Sehingga ustadz sepakat bahwa jika gharar-nya sedikit, perihal itu tidak mencegah sahnya janji [19], karena tidak mungkin menghindarinya secara totalitas. [20]
Contoh: tarif menggunakan toilet umum, misalnya ditetapkan Rp.2.000. Padahal, orang yang menggunakan toilet umum itu berbeda-beda dalam menggunakan air, ada yang sedikit, ada yang agak banyak; ada juga yang hanya sebentar, ada yang agak lama.
Kedua: tetap memungkinkan keluar dari gharar tanpa perlu menyusahkan dan memberatkan.
Ulama sepakat andaikan gharar tersebut tidak mungkin dihindari, alias jika dihindari bakal menimbiulkan kesusahan dan kesulitan, maka gharar tersebut diperbolehkan. Hal ini lantaran seseorang tidak mungkin berlepas diri darinya. [21]
Contoh: 1) seseorang yang membeli rumah yang sudah jadi, tentu dia tidak memandang secara langsung bagaimanakah corak pondasinya; 2) seseorang yang membeli hewan ternak, tentu dia tidak bisa mengecek langsung kondisi di dalam perut hewan.
Ketiga: janji yang mengandung gharar tersebut bukan termasuk janji yang dibutuhkan oleh orang banyak.
Jika dibutuhkan oleh orang banyak, maka statusnya sama seperti darurat. Al-Juwaini rahimahullah berkata,
الحاجة في حق الناس كافة تنزل منزلة الضرورة
“Hajat (kebutuhan) orang banyak itu kedudukannya seperti darurat.” [22]
Kriterianya adalah setiap janji yang andaikan ditinggalkan, maka bakal menimbulkan ancaman (sangat menyusahkan), baik saat ini maupun di masa datang. [23]
Jika masyarakat secara umum memerlukan janji yang mengandung unsur gharar tersebut, tidak bisa digantikan dengan corak janji yang lain, maka janji tersebut termasuk janji yang dimaafkan (dibolehkan). Ibnu Rusyd rahimahullah berkata ketika menyebut kriteria gharar yang dibolehkan,
وإن غير المؤثر هو اليسير، أو الذي تدعوا إليه ضرورة، أو ما جمع بين أمرين
“Gharar yang tidak berpengaruh (dibolehkan) adalah (gharar) yang sedikit, alias dibutuhkan lantaran darurat, alias yang menggabungkan keduanya.” [24]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالشَّارِعُ لَا يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ الْبَيْعِ لِأَجْلِ نَوْعٍ مِنْ الْغَرَرِ؛ بَلْ يُبِيحُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ فِي ذَلِكَ
“Syariat tidak mengharamkan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam jual beli hanya lantaran adanya sedikit unsur gharar; tetapi hukum membolehkan apa yang dibutuhkan dalam perihal tersebut.” [25]
Di antara dalil yang dikemukakan oleh para ustadz untuk membolehkan gharar ketika dibutuhkan adalah hadis-hadis yang melarang menjual buah di pohon sebelum buah tersebut cukup tua (matang). Di antaranya adalah sabda dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى البَائِعَ وَالمُبْتَاعَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penjualan buah-buahan hingga tampak matang. Beliau melarang perihal itu bagi penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari no. 2194 dan Muslim no. 1534)
Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuk menjual buah-buahan setelah tampak matang, dengan syarat dibiarkan di pohonnya sampai waktu panen, meskipun sebagian dari (buah) yang dijual itu belum tumbuh. Maka perihal ini menunjukkan bahwa gharar yang dibutuhkan itu diperbolehkan. [26]
Contoh gharar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya adalah jual beli peralatan yang dimakan bagian dalamnya, seperti semangka alias telur. Terdapat kebutuhan orang banyak untuk menjual semangka alias telur tanpa dibuka terlebih dulu bagian dalamnya. [27]
Keempat: gharar tersebut merupakan tujuan utama (pokok) dari sebuah akad, bukan sebagai pengikut (tabi’); apabila statusnya tabi’, maka diperbolehkan.
Akad yang mengandung unsur gharar diperbolehkan jika statusnya hanya sebagai pengikut, bukan maksud pokok dari janji tersebut. Contoh: menjual janin di dalam perut induknya tidak diperbolehkan. Karena pada jual beli ini, maksud pokoknya adalah menjual janin yang tetap di perut. Akan tetapi, diperbolehkan menjual hewan yang mengandung dengan nilai yang lebih mahal. Karena maksud pokoknya adalah menjual hewan, sedangkan janin yang tetap di dalam perut statusnya sebagai pengikut.
Contoh lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ، فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ
“Siapa saja yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, selain pembeli mensyaratkan buah itu untuknya.” (HR. Bukhari no. 2379 dan Muslim no. 1543)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli buah di pohon yang belum masak (masih muda), lantaran bisa jadi kemudian terkena (benih)penyakit dan hasilnya kandas panen. Akan tetapi, jika yang dijual adalah kebun kurma, maka tidak masalah. Karena yang menjadi tujuan pokok transaksi adalah jual beli kebun kurma, sedangkan buah yang ada di pohon hanyalah sebagai pengikut.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَجَوَّزَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ: أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ثَمَرَتَهَا، فَيَكُونُ قَدْ اشْتَرَى ثَمَرَةً قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لَكِنْ كُلُّ وَجْهِ الْبَيْعِ لِلْأَصْلِ. فَظَهَرَ أَنَّهُ يَجُوزُ مِنْ الْغَرَرِ الْيَسِيرِ ضِمْنًا وَتَبَعًا مَا لَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan, ketika menjual kebun kurma yang telah diserbuki (dikawinkan), bahwa pembeli boleh mensyaratkan buahnya untuk dirinya. Hal itu berfaedah pembeli telah membeli buah sebelum tampak matang. Namun, transaksi tersebut tetap kembali pada tujuan pokok (yaitu, jual beli kebun kurma). Oleh lantaran itu, jelaslah bahwa diperbolehkan adanya unsur gharar yang sedikit dan sebagai pengikut dari transaksi, meskipun tidak diperbolehkan jika unsur tersebut berdiri sendiri.” [28]
Contoh penerapan dalam transaksi muamalah
Gharar adalah di antara karena pokok yang menyebabkan haramnya transaksi muamalah saat ini. Akan tetapi, para ustadz kontemporer terkadang berbeda pendapat apakah unsur gharar yang terkandung dalam suatu corak transaksi itu menyebabkan haram ataukah tidak. Sejumlah transaksi muamalah saat ini dihukumi haram lantaran unsur gharar yang dominan. Berikut ini sebagian contohnya [29]:
Contoh pertama: asuransi konvensional.
Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung untuk memberikan tukar kepada tertanggung jika terjadi akibat yang tertuang dalam perjanjian. Sedangkan tertanggung mempunyai tanggungjawab bayar premi kepada penanggung. Akad asuransi semacam ini mengandung unsur gharar yang besar, sehingga sejak awal kemunculannya, para ustadz telah mengharamkannya.
Contoh kedua: Multi Level Marketing (MLM).
Diharamkannya sistem MLM merupakan pendapat kebanyakan ustadz kontemporer. Hal ini lantaran bayaran (bonus) yang diterima oleh penjual produk MLM tidak jelas, sehingga termasuk gharar.
[Bersambung]
***
@26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809; Lisanul ‘Arab, 5: 13.
[2] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, hal. 809.
[3] Lihat Ash-Shihah, 2: 768; Lisanul ‘Arab, 5: 13; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 230.
[4] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 13-14; Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648.
[5] Lihat Lisanul ‘Arab, 5: 14.
[6] Al-Mabsuth, 12: 194.
[7] Syarh Hudud Ibnu ‘Urfah, 1: 350.
[8] Al-Muhadzab, 3: 30.
[9] Syarh Al-Muntaha Al-Iradat, 2: 145.
[10] Al-Qawa’id An-Nuraniyah, hal. 161.
[11] Lihat Zaadul Ma’ad, 5: 818; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9; Al-Gharar wa Atsaruhu fil ‘Uqud, hal. 53-54.
[12] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 25.
[13] Bahjah Qulubil Abrar, hal. 101.
[14] Lihat Syarh At-Tibi ‘ala Misykatil Mashabih, 6: 74; I’lamul Muwaqi’in, 2: 9.
[15] Lihat Takhrijul Furu’ ‘ala Al-Ushuul, hal. 145; Hasyiyah Ar-Raudh An-Nadhir, 3: 241.
[16] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 227-229 (Cet. Keenam, Desember 2013).
[17] Lihat Al-Muwafaqat, 2: 14; 3: 151-152.
[18] Lihat ‘Aqdul Jawahir Ats-Tsaminah, 2: 419; Al-Muntaqa li Al-Baaji, 5: 41.
[19] Di antara ustadz yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 2: 155; Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 265; dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258.
[20] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 155, 157; Adz-Dzakhirah li Al-Qarafi, 5: 93; Al-Furuq li Al-Qarafi, 3: 265-266; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258.
[21] Di antara ustadz yang menukil ijmak ini adalah An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258; Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 5: 820.
[22] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 478-479.
[23] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 481.
[24] Bidayatul Mujtahid, 2: 175. Lihat pula Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 258.
[25] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 227.
[26] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 341; I’lamul Muwaqi’in, 2: 6-7.
[27] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 216.
[28] Majmu’ Al-Fatawa, 29: 26.
[29] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab III (Gharar Harta Haram); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.