KincaiMedia, JAKARTA -- Puasa secara terkenal berfaedah menahan diri dari hal-hal unik dalam waktu tertentu dengan niat, rukun, dan syarat tertentu. Puasa dalam bulan Ramadhan merupakan wajib dan menjadi salah satu rukun Islam.
Selain puasa wajib bulan Ramadhan tetap ada puasa wajib lain ialah puasa nazar, puasa kafarat, dan puasa qadha ialah pengganti puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan, entah lantaran sakit, dalam keadaan musafair, menstruasi, alias nifas. Selain puasa wajib juga dikenal ada puasa sunah, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa Nabi Dawud, puasa Zulhaj, dll. Keseluruhan puasa itu kudu dengan niat semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (al-taqarrub ila Allah).
Waktu penyelenggaraan puasa sebagaimana yang masyhur dilakukan di dalam setiap tempat berasas ukuran syar'i, yang boleh jadi di satu tempat berbeda dengan di tepat lain, seperti waktu musim panas di Eropa dan Amerika biasanya puasa lebih lama dibanding dengan puasa di musim dingin.
Di Indonesia relatif lebih stabil sepanjang tahun lantaran kita berada di daerah garis khatulistiwa. Cepat alias lambatnya puasa ditentukan juga oleh aspek jarak tempuh di dalam berkendaraan, terutama kendaraan pesawat yang bisa melintasi area waktu berbeda dalam waktu singkat, meskipun bisa juga sebaliknya bisa terjadi jika perjalanan mengikuti garis edar matahari.
Puasa dalam perspektif syari’ah lebih konsentrasi pada apa kata teks alias dalil umum tentang puasa. Karena itu, rukun, syarat, dan sunah-sunah puasa sangat ditekankan untuk diperhatikan. Sah alias tidaknya sebuah puasa banyak mendapatkan penekanan di dalam perspektif ini.
Hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berasosiasi seks sangat diwanti-wanti untuk dijauhi di siang hari saat berpuasa. Sedangkan hal-hal yang secara spiritual bisa mengurangi kualitas puasa, termasuk sunah-sunah yang banget mulia dilakukan saat berpuasa, kurang mendapatkan tekanan. Di sinilah bedanya puasa dalam perspektif tarikat dan hakikat, lebih menekankan aspek-aspek prinsip dan spiritual puasa.
Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada pertentangan antara puasa dalam perspektif syari’ah, tarikat, dan hakikat. Puasa dalam perspektif tarikat dan prinsip sesungguhnya merupakan kelanjutan sasaran dari puasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam.
sumber : Hikmah Republika oleh KH Prof Nasaruddin Umar