KincaiMedia, JAKARTA -- "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra'[17]:1)
Setiap menjelang bulan Ramadhan, umat Islam disuguhkan peringatan peristiwa Isra Mi'raj. Bukan sesuatu yang kebetulan jika peristiwa Isra Mi'raj terjadi pada 27 Rajab, sebulan lebih menjelang Ramadhan tiba.
Setidaknya kita diingatkan ada dua malam krusial yang diunggulkan dalam Alquran, ialah malam Isra Mi'raj, malam yang "melangitkan" manusia untuk kemudian "dibumikan" kembali, dan malam Lailatul Qadar, ialah malam turunnya Alquran untuk melangitkan manusia. Dengan kata lain, malam Lailatul Qadar membumi untuk melangitkan dan malam Isra Mi'raj melangit untuk membumikan.
Ayat tersebut diawali dengan kata subhana (Masa Suci), yang dalam norma tafsir dikatakan jika ada surah alias ayat diawali dengan kata subhana pasti ada info yang di dalamnya tidak bisa dijangkau logika pikiran (la majal li al-'aql). Nyatanya Isra Mi'raj tidak bisa dijangkau logika pikiran hingga saat ini. Mungkin Isra dalam makna perjalanan mendatar dari Masjidil Haram, Makkah ke Masjidil Aqsha, Palestina, bisa dianalisa secara logika dengan membandingkan kecepatan pesawat supersonik tercepat. Tetapi Mi'raj dalam makna berangkat dari Palestina menuju Sidratul Muntaha, sama sekali tidak bakal pernah dijangkau logika pikiran.
Kata asra (memperjalankan) dalam corak fi'il yang melazimkan maf'ul (muta'addi) mengisyaratkan, bukan Nabi Muhammad melainkan Allah SWT yang pro-aktif dalam perjalanan tersebut. Jika demikian, maka tidak perlu kita mempersoalkan proses dan langkah Nabi melakukan Isra Mi'raj. Bukankah jika Raja Saudi mengundang seseorang untuk haji secara total difasilitasi, mulai dari tiket, hotel, sampai busana ihram dan kebutuhan mikro lainnya.
Allah SWT menggunakan kata bi 'abdihi (hamba-Nya) yang mengisyaratkan, yang bisa melakukan Mi'raj bukan hanya Nabi Muhammad SAW, tetapi siapa pun yang merasa hamba berpotensi untuk Mi'raj. Bukankah Nabi pernah bersabda, Al-shalah mi'raj al-mu'mini (shalat adalah Mi'raj bagi orang yang beriman). Namun menarik untuk diperhatikan, dalam ayat itu Allah SWT membubuhi huruf ba (bi 'abdihi), fungsinya untuk isyarat kedekatan (li al-tab'id). Maknanya, hanya hamba yang "menempel" (dekat) dengan Tuhan bisa Mi'raj.
Kata lailan, secara literal berfaedah "malam", namun secara metafor bisa mempunyai makna lain. Dalam syair-syair bahasa Arab, kata al-lailah biasa diartikan dengan keheningan, kesunyian, kesepian, kehangatan, kesejukan, kesenduan, dan kekhusyukan, dan sebagainya. Elaborasinya, malam memang menampilkan kegelapan, tetapi bukanlah kegelapan menjanjikan suasana jiwa seperti tadi.
Kata lailan dalam ayat di atas mengisyaratkan dan sekaligus mensyaratkan bagi siapa pun yang hendak melakukan perjalanan spiritual menuju Tuhan (isra'/suluk) maka kudu mengondisikan suasana malam (lailiyyah) di alam hati dan pikirannya. Kenapa bukan siang? Karena suasana neurologis, gelombang daya otak manusia di siang hari yang lebih aktif, ialah suasana beta (13-23 cps). Bandingkan di malam hari, umumnya manusia berada di dalam suasana neurologis lebih tenang, ialah suasana alpha (7-13 psc), apalagi bisa sampai ke suasana theta (3,5-7 cps). Ketika manusia sudah tidur berfaedah berada dalam suasana delta (0,5-3,5 cps).