Rambu-rambu Jalan Salaf Menuju Kejayaan (bag. 2)

Nov 29, 2024 12:00 PM - 1 minggu yang lalu 10914

Perhatian terhadap pengetahuan dan tauhid

Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap pengetahuan kepercayaan (ilmu syar’i). Karena pengetahuan kepercayaan adalah pondasi tegaknya kehidupan. Individu dan masyarakat tidak bakal baik selain dengan pengetahuan syar’i (ilmu agama). Dan kita tidak bakal bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi selain dengan landasan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah; Inilah jalanku, saya menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108) (Lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27)

Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah aqidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari pembuatan hantu dan manusia. Bahkan, tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan membujuk manusia untuk merealisasikannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Donasi Website KincaiMedia

“Tidaklah Aku ciptakan hantu dan manusia, melainkan agar mereka beragama kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (Lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42)

Syekh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan tanggungjawab yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan beralih darinya alias beralih dari mempelajarinya merupakan musibah terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi tanggungjawab setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan, alias menguranginya. Demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak (menodainya).” (Lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)

Konsekuensi dari dakwah tauhid ini adalah memperingatkan kaum muslimin dari syirik dengan segala bentuknya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, karena terhapusnya amal, dosa yang tidak diampuni oleh Allah, dan karena kekal di dalam neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sungguh jika Anda melakukan syirik, maka pasti lenyap amal-amalmu dan betul-betul Anda bakal termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65) (Lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 179-180)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil (bodoh) dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan Anda mengakui bahwa Allah-lah sang pembuat dan pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dulu telah mengakui perkara-perkara ini, namun perihal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (Lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)

Kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu dan amal-amal adalah seperti kedudukan pondasi dalam sebuah bangunan, seperti akar bagi pohon. Sebagaimana halnya gedung tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak bisa tegak tanpa akarnya, maka demikian pula pengetahuan dan kebaikan seorang tidak bakal berfaedah selain andaikan didasari dengan kepercayaan yang benar. (Lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 8)

Di antara karena utama pentingnya mempelajari aqidah salaf adalah lantaran sesungguhnya aqidah inilah yang bakal mempersatukan barisan kaum muslimin dan para da’i. Di atas landasan inilah kalimat mereka bakal bersatu. Adapun tanpa aqidah yang benar, maka umat bakal tercerai-berai serta porak-poranda. Sebab aqidah salaf ini adalah aqidah yang berasal dari al-Kitab dan as-Sunnah serta dipegang teguh oleh generasi pertama umat ini. Tanpa dilandasi aqidah ini, maka segala corak perkumpulan dan persatuan hanya bakal berhujung dengan percerai-beraian dan berantakan. (Lihat keterangan Syekh ‘Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf hafizhahullah dalam mukadimah Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah karya Syekh Muhammad Khalil Harras, hal. 6)

Aqidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah’. Aqidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh karena itu, wajib memperhatikan dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan bakal berada di atas pengetahuan yang nyata dan di atas aqidah yang benar. Karena andaikan agamanya tegak di atas pondasi yang benar, niscaya kepercayaan dan amalnya bakal menjadi betul dan diterima di sisi Allah Ta’ala. (Lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat ‘ala ath-Thahawiyah, hal. 23)

Kebahagiaan di bumi sangat tergantung dengan pengetahuan tentang aqidah. Kebutuhan hamba kepadanya di atas seluruh kebutuhan. Keterdesakan dirinya terhadapnya di atas semua perkara mendesak. Maka tidak ada kenyamanan, ketenangan, dan kebahagiaan selain dengan hamba itu mengenal Rabbnya dalam perihal uluhiyah, rububiyah, dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana seorang manusia memerlukan makanan dan minuman, maka dia pun memerlukan pengetahuan aqidah ini, apalagi kebutuhan dirinya untuk mengenal Rabbnya jauh lebih besar. (Lihat Ithaf Dzawil ‘Uqul Rasyidah, hal. 7)

Mengikuti Sunnah

Di dalam sabda Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى

“Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: sabda ini hasan sahih)

Yang dimaksud dengan istilah ‘sunnah’ di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Artinya, janganlah kalian mengada-adakan di dalam kepercayaan ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari hukum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Utsaimin, hal. 302)

Dengan demikian, istilah ‘sunnah’ di sini berarti umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah yang lengkap. Oleh karena itu, para ustadz salaf tidak memakai istilah sunnah selain dengan maksud yang mencakup ini semua (seluruh aliran agama). Kemudian para ustadz belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah ‘sunnah’ dengan makna yang lebih khusus, ialah yang berangkaian dengan urusan aqidah alias keyakinan. Hal ini bisa dipahami lantaran masalah aqidah merupakan pondasi kepercayaan sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam ancaman yang sangat besar. (Lihat Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hal. 333)

Istilah “sunnah” inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan “ahlus sunnah wal jama’ah”. Sebab, “sunnah” di sini maknanya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebelum munculnya beragam corak bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah “jama’ah” di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran, ialah para sahabat dan tabi’in, para pendahulu yang saleh dari umat ini. (Lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syekh Muhammad Khalil Harras, hal. 61; tahqiq Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf)

Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Barangsiapa yang mencermati keadaan kaum mahir bid’ah secara umum, niscaya bakal dia dapati bahwa sebenarnya sumber kesesatan mereka itu adalah lantaran tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Hal itu bisa jadi lantaran mereka bersandar kepada logika dan pendapat-pendapat, mimpi-mimpi, hikayat-hikayat (cerita) yang tidak jelas, alias perkara lain yang dijadikan oleh kaum ahlul ahwaa’ (penyeru bid’ah) sebagai sumber dasar norma bagi mereka.” (Lihat at-Tuhfah as-Saniyyah Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyah, hal. 15)

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Aku ini hanyalah seorang manusia. Aku bisa betul dan bisa juga salah. Perhatikanlah pendapatku. Setiap ada pendapat yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap ada pendapat yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 283)

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ

“Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, lantaran perihal itu bakal mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al An’aam: 153)

asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau (rasul). Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan ‘jalan-jalan yang lain’ itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bid’ah.” (Lihat al-I’tisham, 1: 76)

Ketika menjelaskan maksud ayat “dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain”, Mujahid rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah bid’ah dan syubhat-syubhat.” (Lihat al-I’tisham, 1: 77)

Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun al-Jama’ah adalah jamaah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syekh al-Albani, hal. 382; cet. al-Maktab al-Islami)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai pembela bid’ah, maka Allah bakal menghapuskan amalnya dan Allah bakal mencabut sinar Islam dari dalam hatinya.” (Lihat Min A’lam as-Salaf, 2: 47)

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya Anda tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala aliran yang diada-adakan, lantaran itu adalah bid’ah.” (Lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kebid’ahan yang menyebabkan seseorang termasuk golongan ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) adalah sesuatu yang telah masyhur di kalangan ustadz yang memahami Sunnah bahwa perihal itu jelas-jelas berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Seperti halnya bid’ah Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Qadariyah, dan Murji’ah.

Abdullah bin al-Mubarok, Yusuf bin Asbath, dan ustadz yang lain pernah mengatakan, “Pokok dari tujuh puluh dua sekte (yang sesat) ada pada empat aliran, ialah Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan Murji’ah.” Kemudian ada yang bertanya kepada Ibnul Mubarok, “Bagaimana dengan Jahmiyah?” Beliau menjawab, “Jahmiyah bukan termasuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat al-Muntakhab min Kutubi Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, disusun oleh Syekh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf, hal. 149)

Demikian sekelumit catatan faidah yang Allah beri kemudahan bagi kami untuk menyusunnya. Semoga berfaedah bagi penyusun dan segenap pembaca.

[Selesai]

Kembali ke bagian 1

***

Wisma al-Mubarok 1 Ngebel, belakang Kampus UMY Kasihan Bantul

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel KincaiMedia

Selengkapnya