KincaiMedia, JAKARTA -- Rasyid Ridha lahir di al-Qalamoun, Syam Kesultanan Utsmaniyyah (kini Lebanon), pada 23 September 1865. Dia dikenal luas sebagai penerus Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, ialah sebagai penyebar pendapat modernisme Islam. Kiprahnya mengemuka terutama pada masa transisi dari abad ke-19 menuju 20.
Beberapa sumber menyebutkan, laki-laki kelahiran tahun 1865 ini tetap keturunan Ali bin Abi Thalib dari garis Imam Husein. Oleh lantaran itu, gelar ‘sayyid’ sering disematkan pada namanya.
Selain bagian intelektual, Rasyid Ridha juga aktif dalam bumi politik. Pada 1920, dia terpilih menjadi presiden Kongres Suriah. Jabatan itu semakin mengangkat namanya sebagai sosok ahli filsafat dan pemimpin di Dunia Islam.
Satu tahun kemudian, Rasyid Ridha menjadi salah seorang delegasi Palestina-Suriah di Jenewa, Swiss, untuk kongres yang membahas kepentingan negeri-negeri Muslim di region Syam (Levant). Kongres itu berjalan tiga tahun menjelang runtuhnya Kesultanan Turki Usmaniyah pada 1924.
Rasyid Ridha begitu vokal menyuarakan kepentingan negeri-negeri Muslim yang terbelakang. Meski mengecam, dia tidak serta merta menyalahkan total ekspansi Barat sebagai penyebab kemunduran kaum Muslimin.
Sebab, dia mengakui tetap bercokolnya pengabaian bakal prinsip-prinsip Islam yang murni dalam diri kolektif sebagian umat Islam.
Rasyid Ridha termasuk kalangan yang berupaya agar umat bebas dari kepercayaan bakal takhayul-takhayul. Ia mau agar Muslimin kembali kepada inti yang murni daripada kepercayaan ini.
Ekspansi kolonialisme di Asia dan Afrika sejak abad ke-18 mendesak wilayah-wilayah Muslim kepada situasi yang buruk. Tidak ada jalan keluar bagi umat Islam selain berjuang merebut kembali martabat dan kedaulatan. Oleh lantaran itu, mulai timbul upaya-upaya mengukuhkan kesadaran kolektif umat Islam sedunia.
Kalangan intelektual Muslim berupaya merumuskan ulang gimana perjuangan yang ideal itu. Mereka menawarkan pembaruan (tajdid) dalam pemikiran Islam agar kehidupan umat selaras dengan perkembangan era modern.
Pada 1926, Rasyid Ridha menghadiri Konferensi Islam di Makkah. Demikian pula konvensi yang sama pada 1931 di Yerusalem--kota suci ketiga dalam perspektif Islam.
Konferensi tersebut merupakan arena internasional yang dihelat kalangan terpelajar dan pemimpin dari segenap penjuru bumi Islam. Empat tahun kemudian, dia menghembuskan nafas terakhir di tanah airnya dalam usia 70 tahun.