Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Dec 24, 2024 06:00 AM - 1 bulan yang lalu 38633

Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah langkah hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berfaedah hidup sesuai dengan aliran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah Anda ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Dalam tulisan ini, kita bakal membahas gimana Islam menjadi jati diri dan gimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin agar mempunyai jati diri alias karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi.

Muslim punya jati diri

Jati diri alias karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta gimana kita berperilaku berasas prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label alias identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk langkah hidupnya.

Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga handal agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi karakter unik seorang muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.)

Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru karakter unik yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru alias menyerupai hewan, musuh jenis, setan, alias pun nonmuslim.

Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka:

Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ

“Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, larangan meniru style musuh jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ

“Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan laki-laki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.)

Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ

“Janganlah kalian makan dengan tangan kiri lantaran sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)

Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai

Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak semestinya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk mempunyai jati diri yang tegas dan mulia.

Larangan meniru hewan bermaksud agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru aktivitas alias kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah buatan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam corak yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

Larangan meniru musuh jenis lantaran Islam menetapkan peran dan norma yang berbeda untuk laki-laki dan wanita dalam hukum kepercayaan (baik perihal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru musuh jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada hukum agama, tetapi juga pada family dan masyarakat luas.

Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang bakal merusak adab dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berasas firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ

“Janganlah Anda turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208)

Larangan menyerupai nonmuslim bermaksud untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, alias praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi iktikad seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Namun, krusial juga untuk memahami bahwa larangan meniru alias menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang berkarakter umum dan netral, seperti teknologi, pengetahuan pengetahuan, alias kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu berfaedah dan tidak melanggar prinsip agama.

Percaya diri menjadi muslim

Bangga menjadi muslim adalah salah satu langkah untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari kepercayaan bahwa Islam adalah kepercayaan yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi kepercayaan bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)

Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, dia tidak bakal tergoda untuk meniru style hidup alias kebiasaan yang bertentangan dengan aliran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, musuh jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja dia tidak berterima kasih atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keagamaan yang diberikan Allah kepadanya?

Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan beragam keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat alias makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang kudu dijaga dan dipelihara.

Memudarnya keutuhan ketaatan di akhir tahun

Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada bujukan mengikuti tradisi seremoni seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas seremoni tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya.

Islam tidak melarang melakukan baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan melakukan baik, memberi hadiah, alias menghormati seremoni mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai iktikad umatnya. Toleransi tidak berfaedah kudu mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

Artikel: KincaiMedia

Selengkapnya