KincaiMedia, JAKARTA— Sepanjang sejarah, umat Islam telah dihadapkan pada dua jenis bentrok ialah perjuangan kebatilan melawan nilai-nilai dan peradaban Islam, dan perjuangan negara-negara untuk mendominasi dan mengendalikan negara-negara Muslim, kekayaan dan sumber daya mereka.
Kekaisaran Ottoman adalah kekuatan terakhir yang menduduki peran krusial sebagai salah satu pusat dalam sistem internasional, dan dengan keruntuhannya, simbol-simbol terakhir, meskipun nominal, persatuan politik Islam dibongkar, yang mengarah pada perpecahan dan fragmentasi, dan pada gilirannya pihak lain menguat dan mendominasi, dan peran berpengaruh negara Islam dalam hubungan internasional berakhir.
Albert Hourani, dalam Arabic Thought in the Liberal Age, dimulai pada abad kesembilan, kesatuan politik Islam mulai hancur, alias setidaknya berubah bentuk. Dinasti-dinasti baru bermunculan di provinsi-provinsi, yang pada prinsipnya tetap mengakui kedaulatan khalifah dan memerintah atas namanya, tetapi dalam praktiknya mereka independen dalam memerintah negara-negara yang ukurannya terbatas.
Dalam situasi seperti ini, umat Islam yang memperjuangkan otoritas khalifah kudu menjelaskan untuk pertama kalinya tentang realitas dan alasan-alasan eksistensi kekhalifahan.
Al-Mawardi adalah komentator paling terkenal dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sultaniyah. Imam al-Mawardi(991 - 1031 M) dalam bukunya Al-Ahkam al-Sultaniyyah, segera setelah dia mengungkapkan kepercayaan bakal otoritas ini, pergerakan sejarah menguasainya, lantaran pembagian kekuasaan antara khalifah Abbasiyah dan pangeran Turki telah menjadi final dan tidak dapat dipulihkan.
Tidak ada langkah untuk memindahkan kekuasaan dari Baghdad ke ibukota lain, dan kekuasaan orang-orang Turki dan Kaukasia diperlukan untuk negara, lantaran mereka melindunginya dari ancaman internal dan eksternal, sehingga tidak mungkin untuk mengutuk sistem tersebut secara keseluruhan.
Dr Hasan Munaimanah, dalam Tarikh al-Daulah al-Buwaihiyyah menjelaskan peran semangat keagamaan sebagai komponen untuk mengumpulkan dan menyatukan pasukan dan memastikan ketaatan mereka kepada amir telah lama menghilang lantaran perpecahan internal dan bentrok berdarah yang disaksikan oleh masyarakat.
Penaklukan yang jauh tidak lagi mempunyai kemewahan dan bujukan yang sama setelah orang-orang Arab menetap di negeri-negeri taklukan dan condong menjalani kehidupan yang lebih stabil, mewah, dan penuh kebahagiaan.
Kondisi kekhalifahan Abbasiyah telah mencapai tingkat kemunduran dan kerusakan yang sangat parah, lantaran otoritas khalifah tidak berakhir secara berjenjang berkurang.
Kekacauan internal terjadi, pemberontakan dan aktivitas kemerdekaan menyebar di provinsi-provinsi negara, dan ambisi Bizantium tidak menemukan siapa pun yang menentangnya, dan semua ini disertai dengan gelombang nilai yang tinggi dan kondisi ekonomi yang memburuk.