KincaiMedia, JAKARTA -- Dalam bahasa Arab, Kordoba berjulukan al-Qurthubah al-Thayyibah. Letaknya di Semenanjung Iberia (kini Spanyol). Kota ini mencapai era keemasannya di bawah kesultanan Khalifah al-Hakam II (wafat 976).
Sang khalifah rupanya juga seorang yang haus bakal pengetahuan pengetahuan. Dalam setiap lawatannya ke negeri-negeri luar, dia kerap memborong buku-buku untuk memperkaya perpustakaan pribadi. Sebagaimana Baghdad di timur, Kordoba juga menjadi pusat kegiatan intelektual, utamanya translator teks-teks dari pelbagai peradaban bumi ke dalam bahasa Arab.
Tidak kurang dari 70 perpustakaan publik tersebar merata di seantero Kordoba dalam abad ke-10 Masehi. Tidak mengherankan jika kota ini mendapatkan julukan “Permata Eropa.” Sebab, nyaris seluruh Eropa, utamanya yang didiami bangsa Frank (Prancis) alias Roma sekalipun, di saat yang sama sedang diliputi Abad Kegelapan.
Kota ini dilengkapi dengan pelbagai akomodasi yang banget jarang dijumpai kota-kota lain di penjuru Eropa. Misalnya, lampu-lampu penerangan, jalan umum yang bersih, kolam-kolam air mancur, bangunan-bangunan indah, taman, hingga toko-toko buku. Segenap akomodasi umum itu sudah dibangun sejak kekuasaan Khalifah Abdurrahman I, sang amir pertama Kordoba (756-788).
Oleh lantaran itu, Kordoba menjadi rujukan bagi para penguasa Eropa untuk mendapatkan kemewahan hidup. Umpamanya, Raja Leon alias penguasa Barcelona memerlukan seorang dokter, perancang gedung alias busana, maka mereka bakal mencarinya di Kordoba. Meskipun dikuasai Islam, masyarakat Kordoba merupakan masyarakat yang heterogen.
Dalam era Khalifah al-Hakam II, Universitas Kordoba mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, lembaga tersebut menjadi perguruan tinggi yang paling disegani di seantero Eropa masa itu—sebanding dengan Universitas al-Azhar di Kairo alias Universitas Nizamiyah di Baghdad.
Banyak pelajar dari beragam daerah Eropa, Afrika Utara, serta Asia, datang untuk menimba pengetahuan di sini. Apalagi, kampus itu terbuka kepada baik Muslim maupun non-Muslim. Salah satu tokoh Kristen yang ikut belajar di sini adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kelak menjadi Paus Sylvester II.