KincaiMedia, JAKARTA -- Shalat lima waktu adalah sebuah tanggungjawab bagi Muslim. Saat sedang berada dalam kendaraan, gimana langkah melaksanakan shalat? Apakah sebaiknya seorang musafir menjamak shalat alias melakukan ibadah itu selagi di dalam kendaraan?
Seperti dilansir dari laman Rumah Fiqih, Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, ada perbedaan pendapat di antara para ustadz tentang kebolehan melakukan shalat wajib di atas kendaraan.
Ada yang menyatakan, Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan shalat wajib lima waktu---apakah itu subuh, zuhur, ashar, maghrib alias isya---di atas kendaraan. Bagaimanapun, Rasulullah SAW memang pernah shalat sunah selagi di kendaraan. Adapun ketika hendak shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah dengan tetap menghadap kiblat.
"Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke arah mana saja (unta itu berjalan), memang benar. Namun, ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunah, bukan yang wajib," terang Ustaz Ahmad Sarwat.
Dari Amir bin Rabi'ah, dia berkata, "Aku memandang Rasulullah SAW di atas kendaraannya (shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun, beliau tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu" (Muttafaq 'alaihi).
Hadis ini, menurut Imam Nawawi, al-Iraqi, al-Hafidz dan lainnya, dikatakan sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunah di atas kendaraan dalam perjalanan yang panjang. Kalau konteksnya seseorang bukan dalam perjalanan panjang, maka berilmu ustadz berbeda pendapat.
Imam Malik memandang, jika bukan dalam perjalanan yang membolehkan meringkas jumlah rakaat (qashar) shalat, maka shalat sunah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan.
Imam Nawawi mengatakan, shalat wajib tidak boleh lepas dari menghadap kiblat. Bila shalat di atas kendaraan, maka kemungkinan besar seseorang bertukar-tukar arah lantaran kendaraan yang dia tumpangi berbelok-belok. Alhasil, shalat yang dilakukannya itu menjadi batal. Maka dari itu, para ustadz sepakat bahwa tidak boleh melakukan shalat fardhu di atas kendaraan.
Hal itu dengan perkecualian, ialah jika dapat dipastikan bahwa seseorang tetap menghadap kiblat walaupun kendaraan yang ditumpanginya terus melaju. Demikian pula, kudu bisa dipastikan bahwa orang tersebut dapat berdiri, melakukan rukuk dan sujud secara benar. Bila itu tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak dapat dibenarkan. Kalangan ajaran Syafii, termasuk Imam Nawawi, memegang pendapat ini.
Bila seseorang hanya bisa menumpangi kendaraan yang tak memungkinkannya untuk shalat fardhu dengan menghadap kiblat serta berdiri, rukuk dan sujud secara normal, maka dia tetap kudu shalat sebisanya. Akan tetapi, dia bertanggung jawab melakukan i'aadah, ialah mengulangi shalat ketika kondisinya sudah kembali normal.
Lebih baik plural dan qashar
Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan, umumnya sikap yang paling bijak dan praktis adalah keluar dari ikhtilaf, ialah perhatikan konteks situasi: apakah tetap memungkinkan untuk menepikan kendaraan sejenak dan kemudian shalat? Sebab, perkara yang sama sekali tidak ada ikhtilafnya adalah shalat plural dan qashar.
Saat berada dalam perjalanan, misalnya, begitu masuk waktu zuhur, maka musafir hendaknya menepi sejenak untuk melakukan shalat zuhur dan plural ashar. Begitu pula dengan menjamak shalat isya ke dalam waktu maghrib.