KincaiMedia– Seni retorika merupakan bagian dari pengetahuan dialektika yang membahas tentang pemahaman seseorang dalam berargumentasi sekaligus menyampaikan ide-ide argumentasinya. Tentunya, perangkat fundamental yang digunakan retorika adalah komunikasi persuasif.
Aristoteles, yang dianggap sebagai salah satu penggagas utama retorika mendefinisikan dalam karyanya The Art of Rethoric bahwa retorika adalah seni mempersuasi seseorang baik secara karakter maupun emosionalnya.
Motif dari retorika ini biasanya adalah guna menyampaikan kebenaran-kebenaran logis, dapat dilihat dari penggagasnya yang merupakan para filsuf antik yang mau mencerahkan umat manusia.
Teori ini nantinya diadopsi oleh banyak pemikir-pemikir dunia, termasuk peradaban Islam. Pada masa keemasannya, para ustadz dan cendikiawan muslim menerjemahkan dan memberikan komentar atas manuskrip-manuskrip makulat yunani kuno.
Salah satunya adalah Al-Farabi. Ia mengangkat teori retorika Aristoteles yang dipadukan dengan logika umum dengan kitabnya yang berjudul Al-Manthiq fii al-Khitobah (Logika dalam Retorika). Namun, Al-Farabi tidak hanya menjiplak karya Aristoteles, dia juga menambahkan komponen krusial dalam retorika ialah penyampaian kepada orang lain dengan pernyataan-pernyataan yang sangat baik guna meyakinkan setiap perihal yang mungkin disukai alias dihindari.
Ini selaras dengan etika komunikasi dalam Al-Qur’an yang tanpa kita sadari, Allah Swt telah memberikan kepada umat muslim pedoman berceramah dengan etika komunikatif tersebut. Dalam Al-Qur’an, beretorika alias berkomunikasi yang ideal terklasifikasi menjadi 6 metode: Qoulan Sadiida, Qoulan Baligho, Qoulan Kariima, Qoulan Ma’rufa, Qoulan Layyina, Qoulan Maysuro.
- Qoulan Sadiida (Perkataan yang Benar)
Ini terdapat pada Firman Allah Swt, Surah Al-Ahzab: 70
{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدࣰا }
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Buya Hamka dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, mengatakan bahwa perkataan yang betul itu bukan perkataan yang berbelit-belit. Bukan pula perkataan yang hanya diucapkan di lisan tetapi tidak pada hatinya.
Salah satu asbabun nuzul dari ayat ini adalah ucapan yang menyakiti Nabi Musa As oleh Bani Israil kala itu. Maka simbol retorika paling dasar adalah berbicara sesuai dengan adanya, dengan kebenarannya. Bukan perkataan bohong maupun tipu daya.
Mengapa qoulan sadiida diletakkan pada urutan pertama? Karena pada dasarnya, Al-Qur’an menuntun setiap muslim agar bisa berceramah secara betul dan jauh dari propaganda dan provokasi. Sehebat apapun seorang bergulat kata dan beretorika, jika yang disampaikannya menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka tidak berarti sama sekali kemampuannya tersebut.
- Qoulan Baligho (Perkataan yang Fasih)
Fasih disini memilki makna berbekas dan berakibat kepada pendengarnya. Atau pada teori retorika Aristoteles ini disebut dengan patos. Istilah ini tertulis dalam Surah An-Nisa: 64
}أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ یَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِی قُلُوبِهِمۡ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَعِظۡهُمۡ وَقُل لَّهُمۡ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِیغࣰا {
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah Anda dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.”
Selain perkataan yang betul validitasnya, Al-Qur’an juga memberikan petunjuk agar menggunakan kata yang membekas pada tiap pendengarannya. Perkataan yang membekas sudah dipastikan susah untuk dilupakan oleh pendengarnya. Ucapkanlah perkataan sebagaimana ucapan sang ibu yang menasihati anaknya, alias sang pembimbing yang menasihati muridnya. Dengan inilah keahlian retorika kita bakal kaya.
- Qoulan Kariima (Perkataan yang Mulia)
Diksi ini terdapat pada ayat tentang melakukan baik terhadap orang tua. Surah Al-Isra: 23
{ ….فَلَا تَقُل لَّهُمَاۤ أُفࣲّ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلࣰا كَرِیمࣰا }
“…Dan janganlah berbicara kepada mereka berdua (orang tua) perkataan “ah”, dan janganlah kau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Ucapan yang mulia ini semestinya dijaga demi kemuliaan diri kita sendiri dan kemuliaan orang yang kita ajak bicara. Imam At-Thabari dalam tafsirnya Jami’ul Bayan ‘an Ta`wil al-Qur’an menjelaskan bahwa perkataan mulia yang dimaksud adalah perkataan yang bagus didengar dan baik diucapkan. Tandanya, bukan berupa kata-kata biadab dan kotor, bukan pula kata yang mengujar kebencian terhadap pihak lain, apalagi perkataan ghibah dan fitnah.
- Qoulan Ma’rufa (Perkataan yang Baik)
Maksud kata Ma’rufa disini adalah perkataan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi antara yang berbicara dan yang mendengar. Misalnya, dalam memberikan nasihat kepada seseorang, alangkah lebih baiknya jika kita menyampaikan nasihat itu tidak pada keramaian agar tidak mengurangi nilai diri orang yang mau diajak bicara.
Istilah ini diabadikan pada Surah An-Nisa: 8
وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُو۟لُوا۟ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡیَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِینُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُوا۟ لَهُمۡ قَوۡلࣰا مَّعۡرُوفࣰا
“Dan andaikan sewaktu pembagian itu datang beberapa kerabat,anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari kekayaan itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Sudah menjadi tanggungjawab bagi seorang untuk memandang dulu secara kondisional dan situasional. Boleh jadi perkataan kita benar, tapi terucap pada kondisi yang salah. Maka, perihal ini tidak dibenarkan dalam Al-Qur’an.
- Qoulan Layyina (Perkataan yang Lemah Lembut)
Diabadikan kisah dakwah Nabi Musa As dan Nabi Harun As kepada Fir’aun saat itu yang sudah tidak diragukan lagi kebejatannya. Ayat ini terdapat pada Surah ThaHa: 44
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلࣰا لَّیِّنࣰا لَّعَلَّهُۥ یَتَذَكَّرُ أَوۡ یَخۡشَىٰ
“Maka berbicaralah Anda berdua kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar alias takut.”
Ini yang menurut irit penulis sangat menarik, lantaran kita kerap meremehkan kesantunan. Perkataan yang santun itu lebih berkarakter persuasif. Allah Swt memberikan langkah kepada Nabi Musa dan Harun untuk menyampaikan perkataan yang santun itu apalagi kepada seorang Fir’aun sekalipun. Karena perkataan lemah lembut itu lebih didengar dan persuasif dibandingkan perkataan yang provokatif, kasar, menyerang, dan menjatuhkan.
- Qoulan Maysuro (Perkataan yang Mudah)
Pada tingkat akademik tertentu, kita memang dalam satu dua perihal menguasai istilah-istilah tinggi dalam bahasa. Akan tetapi, haruslah kita sadar bakal pendengar kita. Jangan terbawa tinggi hati dengan luasnya wawasan kita. Sia-sia istilah yang kita gunakan itu jika para pendengarnya sukar memahami perkataan kita.
Dalam Surah Al-Isra: 28, Allah Swt berfirman:
وَإِمَّا تُعۡرِضَنَّ عَنۡهُمُ ٱبۡتِغَاۤءَ رَحۡمَةࣲ مِّن رَّبِّكَ تَرۡجُوهَا فَقُل لَّهُمۡ قَوۡلࣰا مَّیۡسُورࣰا
“Dan jika engkau beralih dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah.”
Inilah enam prinsip retorika dari Al-Qur’an yang bisa kita terapkan dalam dakwah kita terhadap masyarakat. Semoga nilai dakwah kita selalu diberikan kemudahan dan rahmat di sisi Allah Swt. Aamiin ya robbal alamin.