KincaiMedia– Shalat merupakan ibadah wajib perseorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim/ah. Sebagai tanggungjawab yang semestinya dijalankan secara rutin setiap hari, shalat juga termasuk bagian rukun Islam, ialah rukun Islam yang kedua.
Artinya, keislaman seseorang tidaklah lengkap—alih-alih ideal—bila dia tidak menunaikan ibadah ini. Sebab, yang namanya ‘rukun’ (dalam perihal apapun) merupakan sesuatu yang kudu ada. Bila tak ada, maka keabsahan rukun tersebut tak dapat divalidasi dalam kacamata hukum Islam.
Berbicara mengenai shalat sendiri, tentu erat kaitannya dengan Bulan Rajab. Mengapa begitu? Sebab, dalam sejarah, ibadah sembahyang ini dulu disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW pertama kali pada bulan yang mulia ini.
Lebih tepatnya, risalah ibadah salat ini diwahyukan Allah SWT kepada Baginda Nabi Muhammad SAW—untuk kemudian risalah tentangnya disampaikan kepada umat beliau—saat terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj.
Peristiwa Isra’ Mi’raj yang menggemparkan masyarakat Makkah itu terjadi pada malam 27 Bulan Rajab. Peristiwa Isra Mi’raj selain merupakan suatu mukjizat besar dari Nabi Muhammad SAW, juga merupakan peristiwa besar dalam sejarah bumi yang sangat mengagumkan dan menjadi bahan ilmiah yang besar, baik untuk 14 abad yang lampau maupun era kita sekarang dan bakal datang.
Peristiwa agung ini terekam dalam firman-Nya;
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١
yang artinya: ”Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Isra’:1).
Nah, pada peristiwa inilah shalat diwajibkan atas umat Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari sejarah pensyariatan shalat sebagaimana tersebut di atas, kita mesti tahu bahwa shalat selain sebagai kegiatan ibadah yang dilakukan hamba kepada Tuhan, rupanya juga mempunyai hikmah dan kebaikan bagi hamba yang menunaikannya.
Disebutkan dalam Al-Qur’an bahwasanya Allah SWT berfirman:
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ ٤٥
Artinya; Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) biadab dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang Anda kerjakan.
Dengan kata lain, ayat di atas mengindikasikan bahwa salah satu hikmah shalat itu pada dasarnya adalah berfaedah sebagai perlindungan terhadap aktivitas-aktivitas maksiat.
Akan tetapi, dalam realita yang ada, banyak dari kita yang tetap terjerumus dalam perbuatan maksiat. Padahal, kita telah (berusaha) istiqamah menunaikan shalat setiap hari. Lantas, gimana ini? Apakah shalat di era modern telah kehilangan jati dirinya sebagai perlindungan bagi manusia dari perbuatan maksiat? Tentu saja jawabannya adalah “tidak”.
Manakala ibadah shalat telah tertunaikan sebagai kewajiban, namun ‘menu-menu’ maksiat tetap menjadi komoditas harian, maka sejatinya telah terjadi kesalahan pada diri kita sebagai sang pelaku shalat dalam memaknai shalat itu sendiri.
Oleh karena itu, kita perlu melakukan beragam ‘revisi’ dalam memaknai shalat agar ibadah yang kita tunaikan kedepannya tak sekadar sebagai penggugur kewajiban, melainkan menjadi ibadah sembahyang yang berbobot dan membawa akibat positif bagi kita.
Salah satu langkah ‘merevisi’ dalam memaknai salat yang bisa kita lakukan adalah melalui pembiasaan diri untuk melakukan penghayatan terhadap shalat yang kita tunaikan. Kita perlu menghayati alias merenungi setiap bacaan, gerakan, dan segala perihal yang berangkaian dengan shalat.
Dengan begitu, seiring berjalannya waktu kita bakal bisa menunaikan shalat secara khusyu’ dan khudu’. Sehingga, perlahan tapi pasti, kita bakal merasakan manisnya nikmat shalat atas izin-Nya.
Nah, pada titik ini, keagamaan kita bakal relatif stabil dan kuat, sehingga diri kita tak mudah tergoda untuk coba-coba melakukan perbuatan maksiat. Di sinilah peran shalat sebagai perlindungan diri dari perbuatan maksiat dapat kita rasakan.
Pada bulan Rajab yang mulia ini, adalah momentum yang tepat bagi kita untuk melakukan ‘revisi’ terhadap pemaknaan shalat. Sebab, sebelum memasuki bulan Ramadhan (agar bisa menunaikan ibadah secara optimal nantinya), kita perlu bersiap diri dari jauh-jauh hari. Terlebih, di bulan Rajab ini kebaikan amal yang dilakukan umat Islam bakal dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT.
Maka dari itu, jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk berbenah diri sebaik mungkin, yang salah satunya adalah dengan memperhatikan dan meningkatkan kualitas shalat kita, alias memperbaikinya jika belum berkualitas.
Berdasarkan uraian di atas, jika kita mau shalat yang kita dirikan setiap hari bisa membawa akibat positif bagi diri kita, maka kita kudu melakukan cross check secara konsisten. Sudah betul alias belum niat shalatnya? Sudah tepat alias tidak tatacaranya? Bagaimana wudhu yang dilakukan sebelum menunaikan salat? Adakah kita sudah melakukan penghayatan terhadap shalat itu sendiri, mulai dari bacaannya, gerakannya, dan filosofi-filosofi hikmah yang terkandung di dalamnya?;
Ketika kita sudah bisa mengaplikasikan hal-hal demikian ini dalam salat kita, Insya allah ibadah salat yang kita tunaikan bakal menjadi ibadah sembahyang yang berbobot dan tak kehilangan ‘jati dirinya’. Sehingga, shalat kita tersebut bakal berakibat positif secara signifikan dalam kehidupan kita. Termasuk berfaedah sebagai perlindungan bagi diri kita dari perbuatan maksiat. Wallahu a’lam.