Seringkali kita, khususnya kami dan kita semua secara umum, perlu berkaca kepada para pendahulu dari kalangan orang-orang shalih, gimana mereka bisa melakukan sesuatu di atas pencapaian manusia normal pada umumnya?
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, dia rela menahan rasa sakit di dadanya yang diletakkan di atasnya sebuah batu besar di tengah panasnya terik mentari di gurun pasir. Alasan besar apa yang membuatnya memperkuat dengan rasa sakit itu?
Asiyah istri Fir’aun radhiyallahu ‘anha, tak gentar ketika kudu disiksa lantaran perintah Fir’aun suaminya sendiri, padahal posisinya saat itu sebagai istri seorang raja dengan segenap kemewahannya. Alasan besar apa yang membikin dia berani mengambil keputusan lebih baik disiksa daripada tetap dalam kemewahan dunia?
‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, rela meninggalkan semua hartanya di Makkah pada saat mau hijrah ke Madinah dan kudu membangun ulang kehidupannya. Padahal dia bisa saja memilih tetap di Makkah untuk menikmati kekayaannya yang diidam-idamkan oleh manusia. Alasan besar apa yang membuatnya melakukan perihal itu?
Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu, khalifah kaum muslimin di waktu itu, dia sampai-sampai tidak berani menggunakan lampu akomodasi negara untuk keperluan pribadinya. Alasan besar apa yang membikin dia melakukan perihal itu padahal perihal tersebut terlihat sangat sepele menurut orang-orang pada umumnya?
Perbuatan besar alias pencapaian yang tinggi pasti mempunyai argumen yang juga besar di belakangnya. Siapa yang mau bersusah payah jika tidak ada suatu perihal yang lebih besar yang mau dia capai yang bisa menggantikan kenikmatan yang padahal dia bisa nikmati waktu itu? Tentu ada argumen yang sangar luar biasa besar di kembali itu, argumen tersebut disebutkan pada sabda berikut ini,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».
“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah berbareng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshar mendatangi beliau, dia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, dia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian. Itulah mereka orang-orang yang paling cerdas.”” (HR. Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Kita fokuskan pembahasan kita pada kalimat, “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian. Itulah mereka orang-orang yang paling cerdas.”
Bilal bin Rabah, Asiyah istri Fir’aun, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Umar bin ‘Abdul ‘Aziz radhiyallahu ‘anhum ajma’in, mereka adalah di antara contoh orang-orang paling pandai di bumi ini, kenapa?
Karena mereka memikirkan masa depan dengan sangat baik, mungkin beberapa orang di luar sana berkata, “Orang-orang sudah sampai ke bulan, kita di sini tetap saja berbincang agama, ketinggalan zaman.”
Seandainya mereka mengetahui yang sebenarnya, mungkin mereka tidak bakal berbicara seperti itu, lantaran faktanya orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya, pengetahuan mereka melampaui bulan. Mereka tahu bulan dan mentari dan segala sesuatu di alam semesta ini bersujud dan tunduk kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka mengerti pada waktunya semua ini bakal hancur, selain yang Allah kehendaki, dan tempat tinggal kita saat itu neraka alias surga, bukan di bulan, bukan Mars, alias planet-planet lainnya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hajj ayat ke-18,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَسْجُدُ لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِى ٱلْأَرْضِ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ وَٱلنُّجُومُ وَٱلْجِبَالُ وَٱلشَّجَرُ وَٱلدَّوَآبُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ ٱلنَّاسِ
“Apakah Anda tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?”
Dengan menjadikan masa depan setelah kematian (akhirat) adalah argumen terbesar, ini secara otomatis bakal membuahkan pencapaian-pencapaian luar biasa ketika tetap di dunia.
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, setelah melewati siksaan itu, dia menjadi orang yang sangat dimuliakan, status sosialnya naik melesat ke atas.
Asiyah istri Fir’aun radhiyallahu ‘anha, kisahnya diabadikan di dalam Al-Quran, sampai hari hariakhir bakal dibaca oleh orang-orang yang beriman.
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, menjadi salah satu orang terkaya pada zamannya.
‘Umar bin ‘Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu, pada masa kepemimpinannya, rakyatnya betul-betul makmur, sampai-sampai tidak ada yang menerima zakat, lantaran semuanya sudah tercukupi.
Dengan memperbanyak mengingat kematian, ibadah bakal meningkat.
Dengan memperbanyak mengingat kematian, semangat dan kualitas kerja bakal semakin baik.
Dengan memperbanyak mengingat kematian, masalah kehidupan bakal terasa ringan.
Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang cerdas. Aamiin.
***
Penulis: Atma Beauty Muslimawati
Artikel KincaiMedia