KincaiMedia– Sudah mafhum bahwa fase Islam di Madinah awal adalah periode perjuangan misi Islam Nabi Muhammad saw. Fase ini disebut sebagai periode pembinaan kerajaan Allah Swt. dalam masyarakat manusia dan melibatkan pembentukan masyarakat yang menerapkan aliran Islam, meskipun di antara warganya ada orang yang tidak berakidah Islam (Non-Muslim).
Anda tahu. Sebelum kehadiran Nabi Muhammad Saw., masyarakat Madinah telah dipenuhi dengan bentrok antar sesama suku. Perang Bu’ats pada tahun 618 M mencapai puncaknya dengan nyaris semua kaum Arab dan suku Yahudi terlibat, berkawan dengan kelompoknya masing-masing. tentu saja, ini disebabkan oleh struktur masyarakat Arab yang didasarkan pada klan, yang menghubungkan setiap family dengan garis keturunan.
Syahdan. Perjalanan Nabi Muhammad Saw. dalam melakukan misi Islam, terutama di Madinah, tidak terlepas dari proses komunikasi dengan masyarakat setempat. Dan pada dasarnya, proses seruan Islam sama dengan proses komunikasi, dengan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya sama selain satu hal, ialah prinsip pesan yang berbeda: pesan misi Islam adalah al-Qur’an dan Hadits, dengan muatan utama adalah amar ma’ruf nahi munkar.
Oleh lantaran itu, rayuan dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat dekat, lantaran keberhasilan seorang ahli dakwah dalam misi Islam sebagian besar dipengaruhi oleh keahlian mereka untuk menyampaikan aliran Islam kepada masyarakat.
Karena Nabi Muhammad Saw. dan umat Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Madinah, dia mendapat support dan sambutan dari kaum Anshar, ialah golongan masyarakat yang mendukung dan melindungi Nabi Muhammad Saw. dan kepercayaan Islam.
Selain itu, orang Islam yang datang dari Makkah menuju ke Madinah, alias kaum Muhajirin, ikut aktif menyebarkan aliran Islam kepada masyarakat Madinah. Akhirnya, setelah memandang situasi seperti itu, Nabi Muhammad Saw. berupaya merencanakan apa yang kudu dilakukan untuk untung misi Islam dan kemajuan peradaban Islam. Beberapa strategi Nabi diantaranya:
Membangun Masjid sebagai pusat komunikasi dan media kepercayaan Islam
Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad saw. pertama-tama membangun sebuah masjid di Quba, di tanah yang dimiliki oleh kedua anak yatim Sahl dan Suhail bin Amr. Nabi membeli tanah itu dan kiblatnya mengarah ke al-Bait al-Maqdis.
Rupanya, masjid yang dibangun tersebut tidak hanya berfaedah sebagai tempat ibadah shalat, bakal tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk kegiatan pendidikan dan pengajaran keagamaan, musyawarah, pertemuan, dan masalah-masalah lainnya. Masjid, oleh lantaran itu, juga berfaedah sebagai tempat untuk kegiatan politik dan pemerintahan.
Setelah dibangun, umat Islam tidak lagi merasa takut untuk melakukan shalat dan kegiatan keagamaan lainnya. Mereka juga tidak lagi takut dikejar oleh orang Musyrik dan orang-orang yang anti-Islam. Dan sejak saat itulah, penyelenggaraan shalat telah dirumuskan secara sempurna.
Tak berakhir di sini, panggilan untuk melakukan shalat telah dikumandangkan. Masjid Madinah menjadi lebih ramai setiap hari lantaran jamaah yang mau shalat berjamaah berbareng Nabi Muhammad Saw. Mula-mula, Bilal bin Rabah adalah orang yang pertama kali mengumandangkan azan, lantaran dia mempunyai bunyi yang bagus dan merdu.
Masjid itu bukan hanya merupakan tonggak berdirinya masyarakat Islam, tetapi juga merupakan titik awal pembangunan kota. Jalan-jalan di sekitarnya diatur dengan baik, membikin desa itu akhirnya menjadi pusat kota dan pusat perdagangan serta pemukiman. Disebabkan banyaknya pembangunan yang dilakukan di Madinah, orang dari daerah lain datang ke kota baru ini untuk berbisnis dan argumen lainnya.
Ukhuwah Islamiyah (Membangun Persaudaraan Baru)
Sejak kedatangannya di Madinah, Nabi Muhammad Saw. telah melakukan banyak perihal baik untuk memperbaiki kehidupan orang-orang Muslim di sana, serta orang-orang non-Muslim pada umumnya, dan menciptakan suasana kondusif dan damai.
Kaum Muhajirin (kaum Muslim dari Makkah), dan kaum Anshar (kaum Muslim dari Madinah) adalah langkah konkret lain yang diambil Nabi Muhammad Saw. Tentu saja ini dilakukan untuk memperkuat barisan umat Islam di Madinah.
Untuk mencapai tujuan ini, Nabi Muhammad Saw. membujuk kaum Muslimin untuk berkerabat satu sama lain lantaran Allah. Nabi Muhammad Saw. sendiri berkerabat dengan Ali ibnu Abi Thalib; Hamzah ibnu Abdul Mutholib berkerabat dengan Zaid; Abu Bakar berkerabat dengan Kharijah ibnu Zaid; Umar ibnu Khattab berkerabat dengan Ithbah ibnu Malik al-Khazraji dan Ja’far ibnu Abi Thalib berkerabat dengan Mu’adz ibnu Jabal. Kaum Muhajirin juga mempunyai persaudaraan dengan orang Anshar lainnya.
Dengan persaudaraan ini, Nabi Muhammad Saw. memulai jenis persaudaraan baru—persaudaraan kepercayaan yang menggantikan persaudaraan darah. Kaum Anshar bersikap sopan dan ramah dengan kerabat mereka kaum Muhajirin dalam persaudaraan seperti ini.
Sejak persaudaraan dibangun antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, suasana semakin tenteram dan aman. Ini lantaran banyak dari kaum Muhajirin terlibat dalam perdagangan dan pertanian, seperti Abdurrahman bin Auf yang bekerja sebagai pedagang dan Abu Bakar, Umar, dan Ali yang bekerja sebagai petani. Nabi selalu menasihati orang Islam untuk bekerja keras untuk mendapatkan duit halal.
Ukhuwah Wathaniyah (Persaudaraan Warga Negara)
Langkah selanjutnya yang diambil oleh Nabi Muhammad Saw. adalah berkonsultasi dengan para sahabatnya, yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, untuk merumuskan ide-ide yang bakal menjadi undang-undang.
Aturan untuk kaum Muhajirin, Anshar, dan Yahudi yang mau hidup berdampingan tenteram dengan umat Islam dimasukkan dalam rancangan ini. Undang-undang ini, yang ditulis pada tahun 623 M alias tahun ke-2 H, kemudian disebut sebagai Piagam Madinah.
Di antara butir-butir perjanjian itu adalah bahwa kaum Muslimin dan kaum Yahudi hidup secara damai, mempunyai kebebasan untuk memeluk dan menjalankan kepercayaan mereka masing-masing.
Kedua, jika salah satu dari mereka diperangi oleh musuh, mereka kudu membantu pihak yang diserang. Terakhir, perjanjian itu menetapkan bahwa kaum Muslimin dan kaum Yahudi kudu saling membantu dalam melakukan tugas yang diperlukan untuk kepentingan bersama.
Keempat, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin umum bagi semua orang yang tinggal di Madinah. Jika terjadi perselisihan di antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi, keadilan bakal menangani masalah tersebut.
Hingga akhirnya, Piagam Madinah yang disepakati bersama, menjadi titik tolak untuk membangun negara yang demokratis, lantaran di dalamnya terdapat poin-poin yang memberikan kebebasan kepada penduduknya, termasuk masyarakat non-Muslim, untuk menjalankan kepercayaan mereka dengan bebas.
Alih-alih menjadi titik tolak untuk membangun negara demokratis, tak disangka orang Yahudi melakukannya dengan jelek dan melanggar undang-undang yang telah disepakati itu. Akibatnya, piagam Madinah, pada saat itu, tidak dapat dilaksanakan dan hanya memperkuat beberapa waktu.
Selain mengalami perkembangan besar dalam jumlah umat Islam dan pembentukan masyarakat politik Madinah, hijrahnya Nabi Muhammad Saw. juga mengalami transformasi besar dalam substansi utama kepercayaan dan tujuan Nabi.
Sebagian besar orang setuju bahwa, aliran Islam selama fase Makkah lebih banyak berbincang tentang moral keagamaan dan tidak menyinggung masalah norma serta politik sosial secara luas. Ini lantaran pada fase Madinah, al-Qur’an dan as-Sunnah kudu memberikan respons terhadap kebutuhan sosial politik yang nyata bagi suatu masyarakat.
Negara Madinah Nabi Muhammad Saw. sendiri memainkan peran krusial dalam perkembangan umat Muslim. Semua aspek kehidupan Nabi adalah subjek pesan wahyu Allah; dia telah menunjukkan ketundukan yang kuat terhadap wahyu Allah dan juga tampil sebagai koordinator utama masalah politik, administrasi, dan komandan militer.
Lebih dari itu, Nabi juga elastis dalam menghadapi tantangan baru, yang menjadikannya aspek pemersatu bagi organisasi Muslim. Dalam perihal ini, posisi Nabi Muhammad Saw. untuk melakukan tindakan politik dan berperan-serta dalam proses rekonsiliasi di antara masyarakat Yatsrib sangat diuntungkan oleh kebenaran bahwa, masyarakat Madinah penuh dengan bentrok politik. Wallahu a’lam bishawab.