Tuntunan Islam Ketika Terjadi Konflik Rumah Tangga

Feb 03, 2025 06:00 AM - 1 minggu yang lalu 10141

Menikah merupakan ibadah yang menyatukan dan menghubungkan dua insan manusia. Menjadikan masing-masing dari mereka menyandang status baru yang sebelumnya tidak ada pada diri mereka. Menjadikan mereka berdua legal untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya Allah haramkan, selain dengan adanya pernikahan tersebut.

Layaknya hubungan di antara manusia lainnya, hubungan suami istri rawan bakal terjadinya sebuah bentrok dan perselisihan. Jarang sekali kita temukan sebuah rumah tangga yang bersih dan terbebas dari perselisihan di dalamnya. Bahkan, di dalam rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun, perselisihan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Sebagaimana perihal ini dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه

“Nabi pernah berada di salah seorang istrinya (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), lampau salah seorang Ummahatul Mukminin (Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian istri yang rumahnya ditempati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari istri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu, pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada istri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” (HR. Bukhari no. 5225)

Perselisihan di antara suami istri merupakan perihal yang umum terjadi. Namun, seringkali di beberapa keadaan perselisihan tersebut membesar dan menyebabkan terjadinya perpecahan, ketidakharmonisan, dan apalagi mengarah kepada perceraian. Wal’iyadzubillah.

Mengetahui ancaman tersebut, seorang muslim hendaknya mengetahui cara-cara yang efektif dan tuntunan hukum di dalam menyelesaikan bentrok dan perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri. Dengan begitu, dirinya dapat menyelesaikan perselisihan yang ada dengan kepala dingin, sesuai tuntunan hukum dan meminimalisir terjadinya perpecahan yang berujung kepada perceraian.

Berikut ini adalah beberapa tuntunan hukum di dalam menyelesaikan perselisihan dan bentrok yang kerap terjadi di dalam sebuah rumah tangga.

Pertama: Introspeksi diri, beristigfar, dan bertobat kepada Allah

Perselisihan yang terjadi di antara suami dan istri sejatinya adalah musibah dan ujian, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ

“Dan apa saja musibah (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79)

Tidaklah sebuah perselisihan terjadi, selain ada sebabnya. Oleh lantaran itu, sudah selayaknya masing-masing pasangan untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, apakah ada kesalahan yang dilakukannya yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan tersebut? Sudahkah dirinya meminta maaf kepada pasangannya atas kesalahan yang dilakukannya tersebut?

Jika kesalahannya tersebut juga berangkaian dengan kewenangan Allah Ta’ala, entah itu lantaran kemaksiatan yang dilakukan alias ketaatan yang ditinggalkan, maka iringilah permintaan maaf tersebut dengan tobat yang betul kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap anak Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3: 198. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 4391)

Renungilah wahai saudaraku, sudahkah masing-masing dari kita sebagai suami ataupun istri menjalankan kewajibannya masing-masing? Sudahkah masing-masing memenuhi kewenangan pasangannya? Sudahkah sebagai suami memperlakukan istrinya dengan langkah yang baik dan lembut? Sudahkah sebagai istri menghormati dan menjaga rahasia suaminya?

Sungguh, menyadari dan mengakui kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri adalah sesuatu yang susah dan tidak mudah dilakukan. Seorang manusia mempunyai kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dulu atas sebuah musibah dan malapetaka yang terjadi.

Hanya orang-orang pilihan Allah yang mempunyai mental untuk mau mengakui kesalahan dirinya sendiri. Renungilah kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri,

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lampau dia menyangka bahwa Kami tidak bakal mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tidak ada Tuhan yang berkuasa disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)

Saat masing-masing pasangan mau mengakui kesalahannya, mau meminta maaf, dan sama-sama menginginkan kebaikan dan perdamaian, maka InsyaAllah sebuah perselisihan bakal lebih mudah terurai, sebuah bentrok bakal lebih mudah untuk diselesaikan dan menemukan jalan keluarnya.

Kedua: Bertakwa kepada Allah dan istikamah dalam ketaatan kepada-Nya

Nasihat kedua, hendaknya suami dan istri sama-sama berupaya mewujudkan takwa dalam rumah tangga mereka dan berjuang maksimal mempertahankannya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan keistimewaan takwa,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia bakal mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)

Saat sebuah rumah tangga dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah Ta’ala, mengedepankan syariat-Nya, dan menimbang perintah serta larangan-Nya dalam setiap keputusan, maka Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberikan mereka solusi dan jalan keluar atas setiap problem dan bentrok yang terjadi.

Di antara corak ketakwaan dalam rumah tangga yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah andaikan rumah tangga tersebut dipenuhi dengan nasihat dan saling mengingatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رحِمَ اللَّهُ رجلًا قامَ مِن اللَّيلِ فصلَّى وأيقظَ امرأتَه ، فإن أبَتْ نضحَ في وجهِها الماءَ ، رحِمَ اللَّهُ امرأةً قامَت مِن اللَّيلِ وصلَّتْ وأيقظَتْ زَوجَها فإن أبَى نضَحَتْ في وجهِه الماءَ

“Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan istrinya, (kemudian istrinya juga salat). Maka, jika istrinya enggan, dia memercikkan air ke wajahnya (yaitu, memercikkan air dengan percikan yang lembut). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merahmati wanita yang bangun pada malam hari, kemudian salat dan membangunkan suaminya, (kemudian suaminya juga salat), maka jika suaminya enggan, dia memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud no. 1308, An-Nasa’i no. 1610 dan Ibnu Majah no. 1336)

Siapa di antara kita yang tidak mau mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya?! Yang dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya tersebut sebuah rumah tangga bakal terjaga kerukunannya serta utuh kasih sayangnya.

Ketiga: Menggunakan mediasi andaikan menemukan kebuntuan

Jika sebuah perselisihan telah mencapai titik kebuntuan yang justru bakal menimbulkan kerusakan yang lebih parah andaikan diselesaikan hanya oleh mereka berdua, Islam memberikan tuntunan untuk mencari solusi melalui jalan mediasi dari masing-masing keluarga. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً

“Dan jika Anda khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari family laki-laki dan seorang hakam dari family perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah bakal memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika bentrok suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil/mediator) untuk berembuk dan berdiskusi. Ketika kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu mempunyai niat yang baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah bakal memberikan taufik kepada keduanya sehingga terwujudlah ishlah dan perdamaian yang diinginkan. 

Keempat: Perceraian adalah jalan terakhir

Jika sebuah perselisihan dan bentrok tidak mempunyai jalan keluar, selain melalui perceraian, maka ingatlah bahwa perceraian adalah jalan keluar yang tidak disukai Allah Ta’ala, terutama andaikan perceraian tersebut terjadi tanpa adanya karena yang jelas alias lantaran hal-hal lainnya yang dapat diselesaikan dengan langkah yang lebih baik. Nabi shallallahu “alaihi wasallam bersabda yang artinya,

“Sesungguhnya setan meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang bakal menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah melakukan ini dan itu’. Maka, setan berkata, ‘Engkau tidak melakukan apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun selain telah saya pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka, setan mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (HR. Muslim no. 2813)

Jangan sampai setan mengambil celah dari perselisihan yang terjadi antara suami dan istri, lampau menjadikan perselisihan tersebut sebagai argumen untuk memisahkan keduanya. Jika perselisihan tetap dimungkinkan untuk diselesaikan dengan langkah yang lebih baik, maka masing-masing pasangan wajib untuk mengusahakannya. Karena dengan adanya perceraian, seringkali menimbulkan hal-hal jelek kepada family tersebut, baik itu terpecahnya sebuah family alias terlantarnya anak-anak.

Allah Ta’ala juga memberikan tuntunan yang jelas jika pun sebuah perceraian kudu terjadi, ialah hendaknya perihal tersebut dilakukan dengan langkah yang baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk), dengan langkah yang patut alias melepaskan (menceraikan) dengan baik.(QS. Al-Baqarah: 229)

Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua agar dimudahkan untuk menjaga rumah tangga kita hingga Allah masukkan kita ke dalam surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: KincaiMedia

Selengkapnya