KincaiMedia, BAGHDAD -- Adakalanya sebagai manusia tak intens saat sholat. Bahkan, adakalanya bisa lupa jumlah rakaat sholat yang sudah dikerjakan dan menjadi ragu.
Menurut ustadz Hanafiyah, jika keraguan itu merupakan yang pertama dalam hidupnya, dia kudu mengulangi shalat itu dari permulaan. Konon, manusia tempatnya salah dan lupa. Maka tak heran, jika saat shalat pun, kita terkadang lupa alias ragu tentang jumlah rakaat yang telah dikerjakan. Apa yang kudu kita lakukan jika terjadi perihal seperti ini?
Para ustadz Syafi'iyah, Malikiyah, dan Hambaliyah menyatakan, jika seorang Muslim ragu-ragu tentang jumlah rakaat shalat yang telah dikerjakan, hendaklah berpegang atas dasar yang lebih meyakinkan, ialah yang jumlahnya paling sedikit, kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa rakaat yang belum dikerjakan.
Sedangkan, para ustadz Hanafiyah memfatwakan, jika keraguannya dalam shalat itu merupakan yang pertama kali dalam hidupnya, dia kudu mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan, jika sebelumnya dia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, hendaklah direnungkannya sejenak, kemudian melakukan menurut persangkaannya yang lebih kuat. Jika tetap tetap ragu-ragu, dia kudu menetapkan atas jumlah yang lebih sedikit lantaran yang demikian lebih meyakinkan.
Menurut kalangan Imamiyah, jika keragu-raguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua rakaat, seperti shalat Subuh, shalat musafir, shalat Jumat, shalat Id (hari raya), shalat gerhana, alias pada shalat Maghrib, alias pada dua rakaat pertama pada shalat-shalat yang jumlahnya empat rakaat, ialah Isya', Dzuhur, dan Ashar, shalatnya menjadi batal dan kudu diulangi dari permulaan. Namun, jika keragu-raguan itu timbul pada dua rakaat terakhir pada shalat ruba'iyah (yang jumlahnya empat rakaat), hendaklah dikerjakan shalat ihtiyath setelah menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain.
Contoh, seseorang ketika shalat ragu-ragu antara dua rakaat dan tiga rakaat. Sesudah menyelesaikan dua sujud, dia kudu menetapkan atas jumlah yang lebih banyak dan menyempurnakan shalat, kemudian shalat ihtiyath dua rakaat sembari duduk alias satu rakaat sembari berdiri. Jika dia ragu-ragu antara tiga rakaat alias empat rakaat, dia kudu menetapkan empat rakaat, kemudian dia sempurnakan shalatnya, lampau mengerjakan shalat ihtiyath satu rakaat sembari berdiri alias dua rakaat sembari duduk.
Jika dia ragu-ragu antara dua rakaat dan empat rakaat, hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian dia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sembari berdiri. Dan, jika ragu-ragu antara dua rakaat, tiga rakaat, dan empat rakaat, hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian dia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sembari berdiri dan dua rakaat sembari duduk.
Hal itu, menurut ajaran Imamiyah, adalah untuk menjaga prinsip shalat dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah seperti yang disebutkan dalam contoh berikut: orang yang ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, lampau dia menetapkannya empat rakaat, setelah itu (seusai shalat) dia mengerjakan satu rakaat secara terpisah. Seandainya shalat yang sudah dikerjakannya itu sempurna, satu rakaat terpisah yang dia kerjakan tadi dianggap sebagai nafilah (shalat sunah). Dan, jika memang shalatnya kurang satu rakaat, rakaat terpisah tadi adalah sebagai pelengkapnya. "Bagaimanapun, shalat ihtiyath dengan langkah demikian hanya terdapat dalam ajaran Imamiyah,'' kata Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Fiqih Lima Mazhab.
sumber : Dok Republika