Apakah Sains Bertentangan Dengan Agama? (bag. 3)

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

Bagaimana jika dalil kepercayaan menyatakan sesuatu nan tidak dapat dibuktikan secara saintifik?

Misalnya, dalam sabda sahih nan diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

العَيْنُ حَقٌّ

“Pandangan jahat (‘ain) itu betul adanya.” [1]

‘Ain sebagaimana didefinisikan Ibnul Qayyim rahimahullah adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu. Kekaguman itu dia ikuti dengan niat jelek untuk mencelakakan pemiliknya dengan langkah memandang orang tersebut.[2]

Beberapa orang menyatakan bahwa sabda ini bertentangan dengan sains, dengan mengatakan, “Kepercayaan terhadap ‘ain tidak dapat diuji dengan kacamata sains modern.” Lalu, mereka menolak sabda ini alias meragukan eksistensi ‘ain. Ini merupakan sikap nan tidak tepat.

Kedua perihal tersebut tidak dapat dibandingkan. Memang benar, sabda tersebut adalah sabda sahih, namun sains tidak memberi komentar apapun, tidak mengonfirmasi, maupun menegasikan isi sabda tersebut. Sedangkan tidak adanya komentar sains terhadap sesuatu, tidak berfaedah menegasikannya. Ini sesuai dengan kaidah,

عدم العلم بشيء ليس علمًا بالعدم

“Ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu, bukan berfaedah sesuatu itu tidak ada.”

Maka, terdapat perbedaan nan jauh antara ‘‘menyatakan isi sabda tersebut tidak benar” dengan ‘‘sains tidak dapat mengonfirmasi alias menegasikan isi sabda tersebut’’. Oleh lantaran itu, tidak tepat dalam kasus seperti ini untuk menolak sabda dengan klaim adanya kontradiksi, padahal kenyataannya tidak ada. Hal itu dikarenakan sains hanya dapat bekerja pada hal-hal materiel.

Salah satu prinsip sains adalah objek kajian kudu berkarakter materiel, artinya dapat diobservasi, sedangkan ‘ain tidak dapat diobservasi dari kacamata sains. Akan tetapi, ketidakmampuan ‘ain untuk diobservasi secara materiel tidak menunjukkan ketiadaan wujudnya. Demikianlah pula, pada hal-hal gaib lain nan terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, semacam: jin, malaikat, roh, surga, neraka, sihir, mukjizat, dan selainnya. Ketidakmampuan sains untuk mengobservasi hal-hal gaib tersebut, tidak menunjukkan ketiadaan hal-hal gaib tersebut. Kaidah demikian juga disampaikan Ibnu Taymiyyah rahimahullah,

فإن الرسل صلوات الله عليهم وسلامه قد يخبرون بمحارات العقول وهو ما تعجز العقول عن معرفته ولا يخبرون بمحالات العقول

“Para rasul ﷺ terkadang mengabarkan hal-hal nan membikin logika bingung, ialah hal-hal nan pengetahuannya tidak dapat dijangkau akal. Akan tetapi, mereka tidak mengabarkan hal-hal nan mustahil secara akal.” [3]

Bahkan, jika dugaan tersebut ditujukan kepada Allah, maka apakah keberadaan Allah dapat dinegasikan hanya lantaran tidak dapat diobservasi melalui metode saintifik? Tentu saja tidak. Bukti keberadaan Allah tidak terbatas hanya pada keberterimaan-Nya terhadap observasi sains, tetapi dapat dibuktikan dengan metode lainnya, semacam prinsip karena akibat, fitrah manusia, kesempurnaan alam semesta, dan sebagainya. Apabila kita telah meyakini bukti keberadaan-Nya, maka secara otomatis kabar-kabar gaib nan Allah beri tahu adalah nyata dan betul adanya, meskipun tidak dapat diobservasi secara saintifik. Hal itu dikarenakan Allah adalah Al- ‘Alīm (Maha Mengetahui) dan Lā yukhlifu Allāhu al-mī‘ād (Allah tidak menyelisihi janji-Nya).

Apakah berfaedah seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?

Jika hal-hal gaib di dalam kepercayaan tidak dapat dibuktikan secara saintifik, apakah perihal ini berfaedah seorang muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan dua konsep penting, ialah naturalisme filosofis dan naturalisme metodologis. Naturalisme filosofis adalah kepercayaan bahwa alam semesta merupakan sistem tertutup, tidak ada sesuatu di luar alam semesta nan dapat mengintervensi, termasuk tidak ada Tuhan alias hal-hal nan gaib lainnya. Ini adalah aliran makulat nan diyakini oleh kebanyakan penganut ateisme. Prinsip utamanya adalah segala kejadian dapat dijelaskan melalui proses fisika. Sedangkan naturalisme metodologis adalah prinsip sains nan menyatakan bahwa agar sesuatu dapat disebut saintifik, maka tidak bisa dikaitkan dengan kekuatan dan perbuatan Tuhan.

Naturalisme filosofis alias terkadang disebut materialisme adalah sebuah kepercayaan bahwa semua alam semesta ini hanya terdiri dari benda-benda materiel, tidak ada barang nonmateriel. Aliran kepercayaan demikian tentu saja berlawanan dengan Islam. Sebab, banyak perihal nan tidak bisa dijelaskan andaikan kita hanya mengandalkan penafsiran materiel saja. Contohnya, persoalan susah kesadaran (the hard problem of conciousness), ialah dari mana kesadaran manusia berasal dan gimana dia bekerja. Contoh lainnya yaitu, keberadaan moralitas objektif nan membahas kenapa kita menganggap suatu perihal sebagai baik alias buruk. Hal-hal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui proses fisik.

Sedangkan naturalisme metodologis adalah bagian dari metode penelitian. Maknanya, agar suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah dan empiris, seluruh proses karena akibat antara perihal satu dengan nan lainnya kudu merujuk kepada hal-hal materiel, bukan hal-hal nonmateriel seperti kekuatan gaib. Hal nan demikian tidak masalah bagi seorang muslim, lantaran kita mempercayai bahwa Allah Ta’ala menciptakan karena akibat secara bentuk di alam semesta ini.

Prinsip karena akibat adalah manifestasi dari kehendak Allah. Maka, suatu dugaan keliru jika mengatakan konklusi alias teori sains tidak dapat dikaitkan dengan kekuatan gaib, berfaedah kekuatan gaib tidak ada. Dengan kata lain, meskipun kehendak Allah tidak dapat diobservasi dengan kacamata sains, bukan berfaedah kehendak Allah tidak ada. Oleh lantaran itu, secara personal, seorang intelektual bebas untuk mempercayai alias mengimani sesuatu nan berada di luar hal-hal materiel, sehingga istilah intelektual muslim adalah istilah nan dapat diterima. Seseorang dapat menjadi seorang muslim dan dapat menjadi intelektual pada saat nan sama.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka seorang muslim tidak mempunyai masalah sama sekali antara kepercayaan nan dia anut dengan sains. Sains adalah metodologi penelitian nan telah memberikan kontribusi besar bagi manusia. Akan tetapi, kesimpulannya bukan nilai mati. Sains dapat berubah-ubah sesuai dengan penemuan info terbaru menggunakan perangkat nan lebih mutakhir. Sebagai suatu metode, sains mempunyai keterbatasan, dia tidak bisa mengobservasi hal-hal gaib, tetapi ketidakmampuan tersebut tidak menafikan keberadaan hal-hal gaib nan disebutkan di dalam  Al-Qur’an dan sabda nan sahih.

Kembali ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2)

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?

Catatan kaki:

[1] HR. Bukhari no. 5740.

[2] Zād Al-Ma‘ād, hal. 239.

[3] Bayān Talbīs Al-Jahmiyyah fī Ta’sīs Bida‘ihim Al-Kalāmiyyah, hal. 361, jilid 2. Majma‘ Al-Malik Fahd li Ṭibā‘ati Al-Muṣḥaf Asy-Syarīf.

Selengkapnya
Sumber Akidah dan Sunnah
Akidah dan Sunnah