Di Era Kolonial, Sebagian Muslim aljazair pindah Agama Akibat tekanan Prancis

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

KINCAIMEDIA,JAKARTA -- Louis-Napoleon Bonaparte (1808 - 1873) keponakan Napoleon I menjadi Kaisar Prancis sebagai Napoleon III pada bulan Desember 1852, menggantikan Republik Kedua Prancis dengan Kekaisaran Kedua. Ketika itu, wilayah Aljazair dalam genggaman kekuasaan kolonial Prancis.

Pada masa kekuasaan Napoleon III, penduduk Prancis dan Eropa lainnya pindah ke Aljazair (di Afrika). Mereka memperoleh sebagian besar tanah dan properti milik bangsa Arab di Aljazair. Cara memperolehnya dengan kekerasan, paksaan, dan support dari otoritas Prancis.

Selama dua kali kunjungan Napoleon III ke Aljazair, Napoleon III terkejut dengan kebijakan nan ada dan memutuskan untuk membatasinya demi kepentingan masyarakat original Aljazair nan kebanyakan berakidah Islam.

Pada tahun 1860, Napoleon III membayangkan sebuah kerajaan Arab berkawan dengan Kekaisaran Prancis, namun Emir Abdelkader nan sekarang diasingkan menolak untuk berasosiasi dalam upaya tersebut. 

Emir Abdelkader adalah seorang pemimpin nasional nan berasal dari Aljazair nan memimpin Aljazair dalam pergerakan perlawanan kolonial Prancis di Aljazair.

Lima tahun kemudian, Napoleon III menetapkan bahwa penduduk Aljazair setempat bakal menjadi penduduk Prancis nan status pribadinya tetap berasas norma kepercayaan ialah syariah untuk 3 juta masyarakat Muslim di negara tersebut dan norma Musa untuk 30 ribu masyarakat Yahudi.

Para pemukim dari Eropa di Aljazair sangat marah dengan kebijakan nan diambil Napoleon III. Mereka memandang tindakan itu pro-pribumi (pro terhadap kebanyakan pribumi nan berakidah Islam di Aljazair). Mereka menuduh militer Prancis melindungi masyarakat lokal Aljazair (yang kebanyakan Muslim) dari kolonialisme nan agresif. 

Hal ini menjelaskan kenapa Republik Ketiga Prancis, segera setelah menggantikan Kekaisaran Kedua Napoleon III pada bulan September 1870, berupaya menghapus warisan Aljazair nan pro-pribumi (yang kebanyakan berakidah Islam).

Selanjutnya, kewenangan atas Aljazair oleh Prancis dialihkan dari Kementerian Perang ke Kementerian Dalam Negeri. Kemudian, orang-orang Yahudi Aljazair menjadi penduduk negara Prancis, sementara Muslim Aljazair hanya menjadi subjek. 

Demikian dijelaskan dalam tulisan Sejarah Panjang dan Bermasalah Republik Prancis dan Islam nan ditulis Jean-Pierre Filiu seorang Profesor Studi Timur Tengah di Sciences Po, Paris School of International Affairs dalam laman News Lines Magazine, 2020.

Standar dobel dan diskriminasi itu menciptakan perpecahan nan mempolarisasi masyarakat Aljazair menjadi orang Eropa nan terdiri dari pemukim asing di Aljazair, orang Yahudi dan Muslim.

Ini adalah momen krusial dalam sejarah Republik Prancis dengan Islam, ketika identitas kepercayaan nan ketat diberikan kepada masyarakat Aljazair untuk menghilangkan hak-hak mereka. Dinamika ini semakin intensif setelah pemberontakan melawan pemerintahan Prancis pada tahun 1871. Penindasan berdarah oleh Prancis ini berujung pada proses perampasan besar-besaran terhadap kaum tani lokal, nan menguntungkan gelombang baru pemukim Spanyol, Italia, dan Malta nan semuanya bakal segera memperoleh kebangsaan Prancis di Aljazair. Tapi tidak dengan Muslim nan susah dapat kewarganegaraan.

Begitu besarnya tekad Republik Ketiga Prancis untuk mengendalikan masyarakat Aljazair dan mengecualikan kebanyakan penduduk Aljazair nan berakidah Islam dari kewarganegaraannya. 

Sejak tahun 1801, hubungan antara Republik Perancis dan Gereja Katolik diatur melalui perjanjian dengan Paus nan dikenal sebagai konkordat. Namun pada tahun 1905, Prancis mengangkat undang-undang pemisahan antara Gereja dan Negara, nan secara efektif mengakhiri konkordat tersebut. Namun, di Aljazair, undang-undang tersebut tidak pernah betul-betul diterapkan.

Selengkapnya
Sumber Intisari Islam
Intisari Islam